JENIS TES DAN INVENTORI DALAM BK
(TES INTELEGENSI)
A. Pengertian
Intelegensi
Kata intelegensi besarasal dari bahasa latin
intelligere yang berarti menghubungkan atau atau menyatukan satu sama lain (to
organize, to relate, to bind, tigether). Berikut beberapa pengertian
intelegensi menurut para ahli:
1. Menurut
Herbert Spencer dalam Muri Yusuf (2011: 331), inteligensi adalah kemampuan
bawaaan, atau kualitas bawaan sejak lahir sebagai hal yang berbeda dari
kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar.
2. A. Muri Yusuf (2011: 332) memberikan simpulan
bahwa inteligensi itu disifatkan oleh: 1. Kemampuan berpikir abstrak 2.
Kemampuan berpikir analitis dan rational 3. Kemampuan untuk mengambil sikap
tepat dan menyesuaikan diri terhadap situasi lingkungan 4. Kemampuan untuk
memecahkan masalah secara tepat dan cepat 5. Kemampuan bertindak secara
efektif.
3. Spearman
(dalam Robert J. Gregory, 2010: 165) mengemukakan intelegensi sebagai kemampuan
umum melibatkan sebagian besar pengembangan relasi dan hubungan timbal balik.
4. Binnet
Simon (dalam Robert J. Gregory, 2010: 165) : kemampuan menilai, memahami, dan
berpikir logis dengan baik.
5. Karl
Buhler (Sarliti W. Sarwono, 2009:154) mengemukakan bahwa intelegensi adalah
perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.
6. Wechsler
(dalam Robert J. Gregory, 2010: 165) mengartikan intelegensi sebagai kapasitas
agregat atau global dari individu untuk bertindak secara sengaja, berpikir
secara rasional, dan menghadapi lingkungan secara efektif.
Berdasarkan
uraian tentang pengertian intelegensi di atas, dapat disimpulkan bahwa
intelegensi adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir yang dapat digunakan untuk
menyesuaikan diri terhadap kebutuhan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir
secara efektif.
Dari
beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
perkembangannya inteligensi merupakan suatu kemampuan dasar yang bersifat umum
untuk memperoleh suatu kecakapan yang mengandung berbagai komponen. Inteligensi
merupakan potensial genetis yang berkembang melalui interaksi potensi pembawaan
dan stimulasi dari lingkungan.
B. Tujuan
Tes/Pengukuran Intelegensi
Menurut Sumadi Suryabrata (2005:164) pada
umumnya tujuan tes intelegensi adalah untuk menentukan kedudukan relatif
seseorang di dalam kelompok. Yakni berkaitan dengan ukuran kemampuan seseorang
yang menjadi pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kesuksesan seoserang
dalam kehidupannya.
C. Teori
Intelegensi
Ada beberapa teori Intelegensi yaitu (dalam
Robert J. Gregory, 2010:189):
1.
Teori Lama, yaitu ada dua teori (Wocdworth dalam
Wayan Nurkancana, 1993:161).
a.
Teori pertama mengatakan bahwa setiap pekerjaan
memerlukan satu kecakapan khusus tertentu yang terpisah (separate specific
ability), dan bahwa tiap individu itu berbeda dalam kemampuannya melaksanakan
setiap pekerjaan samata-mata karena memiliki kecakapan yang khusus ini dalam
tingkat berbeda-beda.
b.
Teori ke dua mengatakan bahwa semua pekerjaan
itu tergantung pada satu unit kecakapan yang merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan (a unit of ability). Perbedaan kemampuan individu dalam suatu
pekerjaan disebabkan oleh karena adanya perbedaan dalam tingkat kecakapan umum.
2.
Teori
faktor (dwi faktor/bi faktor)
Pada
awal tahun 1900-an, Charles Spearmen mengusulkan bahwa intelegensi terdiri dari
dua faktor yaitu: faktor umum atau general faktor yang disingkat dengan (faktor
g ) dan berbagai faktor khusu atau spesifik
yang disingkat dengan (faktor S) s1, s2, s3,
dan seterusnya. Faktor G itu berfungsi pada semua tingkah laku atau kecakapan,
sedangkan faktor S berfungsi pada suatu tingkah laku atau kecakapan tertentu
saja.Ia membantu menemukan analisis faktor untuk menambah investigasinya
mengenai asal-usul intelegensi. Makin tinggi korelasi antara dua kecakapan
berarti makin banyak faktor G yang berfungsi di dalamnya. Sebaliknya,kalau
korelasi antara dua jenis kecapakan itu rendah, berarti faktor S lah yang lebih
banyak berfungsi di dalamnya. Oleh karena itu, Spearman didasarkan atas
analisis faktor yang dikenal dengan teori faktor. Dan karena teori Spearman
mengatakan bahwa kemampuan manusia terdiri dari dua faktor yaitu (faktor G dan
faktor S), maka teori Spearman tersebut juga dikenal dengan teori dwi faktor.
Faktor umum atau faktor general faktor inilah yang disebut dengan intelegensi,
sedangkan faktor khusus atau special faktor disebut dengan bakat.
3.
Teori
Thurstone
Teori Thurstone sependapat dengan Burt bahwa
ada faktor C yang berfungsi pada sejumlah tingkah laku, juga berpendapat dengan
Burt mengenai faktor S (yang mendasari suatu tingkah laku tertentu). Jumlah S
sebanyak tingkah laku khusus oleh manusia bersangkutan. Dengan kata lain, L.L
Thurstone lebih menyukai pandangan bahwa intelgensi terdiri dari sekitar tujuh
faktor kelompok ketimbang satu faktor umum. Ketujuh faktor tersebut adalah:
a.
Pemehaman
verbal (Verbal Comprehension):
kapasitas untuk menggunakan bahasa.
b.
Kelancaran
kata (Word Fluency): kapistas untuk
berbicara secara lancar, dapat diukur dengan tes seperti anagram atau secepat
mungkin menyebutkan kata yang tepat sesuai dengan kategori yang diberikan
(misalnya, makanan yang diawali dengan huruf S).
c.
Angka (Number): kapasitas untuk bekerja dengan
bilangan, serupa dengan kecepatan dan akurasi dalam menghitung aritmatika.
d.
Ruang (Space): yaitu kapasitas untuk mengadakan
orientasi dalam ruang atau kemampuan memvisualisasikan objek tiga dimensi yang
dirotasi atau dibuka per bagian.
e.
Memori
Asosiatif (Associative Memory):
kemampuan yang berhubungan dengan memori seperti bagaimana membuat asosiasi
dari hal-hal yang tidak berhubungan.
f.
Kecepatan
Perseptual (Perceptual Space):kapasitas
untuk mengamati dengan cepat dan tepat atau meliputi tugas-tugas administratif
sederhana seperti mencari persamaan dan perbedaan pada suatu detail visual.
g.
Penalaran
induktif (Inductive Reasoning):
faktor ini diukur dengan kemampuan menemuka sebuah pola seperti pada tes
melengkapi urutan angka.
4.
Toeri Cattel-Horn-Carroll
(CHC )
Cattel-Horn-Carroll atau CHC mengusulkan
bahwa intelegensi terdiri dari tiga strata yaitu:
a.
Faktor
yang menjalar (pervasive factor) yang didefenisikan oleh intelegensi umum
b.
Delapan
atau lebih faktor yang lebih luas didapatkan daru intelegensi umum,
c.
Sekitar
70 faktot terbatas.
Keunggulan teori CHC adalah bahwa teori ini
didasarkan pada analisi yang cermat dari ratusan analisis faktor yang dilakukan
oleh peneliti independen dan dipadukan oleh John Carrol serta yang lainnya.
5.
Teori
Giulford
J. P Guilford mengusulkan model struktur
intelegensi/structure-of-intellec
(SOI) untuk menyimpulkan pandangannya tentang sifat dasar intelegensi yang
memiliki banyak sisi. Ia mengklasifikasikan kemampuan intelegensi menjadi tiga
bagian, yaitu:
a.
Operasi
(5 jenis) yaitu pengamatan, ingatan, analisis (disvergent thinking), sintesis
(convergent thinking), dan evaluasi.
b.
Isi (5
jenis), yaitu gambar, simbol, kata-kata dan perbuatan.
c.
Produk
(6 jenis) yaitu kesatuan informasi, klasifikasi unit, hubungan antarunit,
sistem informasi, dan implementasi.
Berdasarkan itu, secara keseluruhan Gulford
mengusulkan 150 jenis intelegensi yang berbeda.
6.
Teori
pengolahan yang berurutan dan stimultan (theory of simultaneous and succesive
processing)
Otak manusia mempunyai dua bentuk yang
berbeda dalam pengolahan informasi yaitu: simultan di mana kelompok informasi spasial yang utama diproses
sekaligus, dan berurutan di mana informasi disusun dalam urutan linear. Pengolahan
Simultan informasi ditunjukkan oleh adanya eksekusi beberapa operasi mental
yang berbeda secara simultan. Bentuk pemikiran dan persepsi yang membutuhkan
analisis spesial seperti menggambar kubus, membutuhkan pengolahan informasi
yang stimultan. Pada saat menggambar, peserta tes harus memahami secara
stimultan keseluruhan bentuk yang akan digambar dan mengarahkan tangan serta
jari untuk menggambarkan bentuk tersebut. Pengolahan berurutan,
informasi diperlukan untuk aktivitas mental di mana urutan operasi yang tepat
harus dijalankan. Pengolahan berurutan diperlukan dalam mengingat deret angka,
mengulang sederatan kata (misalnya, sepatu, bola, telur0 melakukan pengulangan
terhadap sederetan gerakan tangan ( telapak tangan mengepal, membuka, mengepal,
membuka).
7.
Teori
intelegensi majemuk
Teori intelegensi majemuk diajukan oleh Howard Gardner yang secara bebas di dasarkan
kepada studi tentang hubungan otak dan perilaku. Dia memperdebatkan keberadaan
beberapa intelegensi yang relatif independen, termasuk linguistik, musikal,
logika-matematika, spasial, tubuh-kinestetik, dan personal. Dan Gadner
mengemukakan tujuh intelegensi dasar yaitu:
a.
Liguistik
b.
logika
c.
Matematika
d.
Spasial
e.
Musikal,
seperti dapat dengan mudah memainkan instrumen atau menulis komposisi mereka
sendiri.
f.
Kinestetik,
terdiri dari jenis keterampilan yang digunakan oleh para atlit, penari, aktris
pantonim, dan lain-lain
g.
Interpesonal
dan intrapersonal,intelegensi personal meliputi kapasitas untuk masuk ke dalam
perasaan sendiri (intrapersonal) dan kemampuan memperhatikan serta membedakan
suasana hati, tempramen, motoivasi, dan intensi orang lain.
8.
Teori
Triarchic Intelegensi
R. Sternberg mengusulkan teori intelegensi triarchic dengan aspek-aspek berikut:
a. intelegensi komponensial (mekanisme mental
internal yang bertanggung jawab terhadap perilaku intelegensi),
b. intelegnsi pengalaman (kemampuan
menghadapi tugas-tugas baru) dan
c. intelegensi kontekstual (adaptasi,
pembentukan, dan seleksi lingkungan dunia nyata).
D. Kegunaan
Tes Intelegensi
Tes intelegensi dapat digunakan untuk
berbagai tujuan yaitu, (Wayan
Nurkancana, 1993:187).
1.
Untuk
mengetahui apakah seorang anak sudah cukup matang untuk diterima di kelas I
Sekolah Dasar atau belum.
2.
Untuk
mengadakan seleksi terhadap calon siswa atau mahasiswa. Anak-anak yang telah
tamat sekolah dasar atau sekolah menengah, juga menunjukkan variasi yang sangat
luas mengenai kematangan psikis mereka. Untuk menentukan calon-calon yang akan
diterima disuatu sekolah atau perguruan tinggi, dapat didasarkan kepada urutan
umur psikis para calon.
3.
Sebagai
salah satu informasi dalam mengadakan diagnosis kesulitan belajar. Rendahnya
prestasi yang dicapai oleh seorang anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Salah satu penyebabnya adalah intelegensinya yang rendah. Apabila anak yang
prestasinya rendah itu, memang ternyata intelegensinya juga rendah, maka sudah
dapat kita simpulkan bahwa penyebabnya terletak pada faktor intelegensi. Tetapi
apabila anak tersebut ternyata mempunyai intelegensi yang tinggi, maka perlulah
kita cari faktor-faktor yang lain yang mungkin menjadi penyebab kesulitan
belajar yang dihadapi oleh anak tersebut.
4.
Untuk
mengelompokkan murid-murid berdasarkan IQ mereka. Pada murid kelas I yang baru
diterima di suatu sekolah ada baiknya dikelompokkan atas dasar IQ nya. Dengan
pengelompokkan tersebut kita akan mendapatkan kelas-kelas yang homogen dalam
kecakapan mereka. Hal ini akan memudahkan para guru dalam memberikan pelajaran.
5.
Sebagai
bahan untuk meramalkan kemungkinan sukses tidaknya seorang anak diperguruan
tinggi. Misalnya untuk dapat menamatkan pendidikan diperguruan tinggi
diharapkan memliki IQ sebesar 120. Apabila anak mempunyai IQ di bawah 120
kecillah kemungkinannya untuk bisa menammatkan studi di perguruan tingi tepat
waktu.
Jika dihubungkan dengan Bimbingan dan
Konseling, dalam melaksanakan perannya, Guru BK membutuhkan bantuan alat
guna memahami potensi yang ada dalam diri siswa dan mendeteksi faktor-faktor
pendukung dan penghambat siswa dalam belajar khususnya faktor internal. Alat
tersebut salah satunya adalah tes intelegensi. Contoh tes psikologi dalam
kaitannya dengan fungsi prediksi adalah penggunaan tes psikologi untuk
memprediksi keberhasilan siswa dalam belajar disuatu jurusan tertentu.
Fungsi
dari pengukuran psikologis dalam bimbingan dapat dilihat dari beberapa segi,
yaitu:
1. Dilihat
dari segi klien, Membantu siswa/klien mengenal dan mengerti keadaan psikisnya
yang menyangkut potensi psikis dan prestasinya serta kelemahan dan kelebihan
dalam aspek psikis yang dimilikinya.
2. Dilihat
dari segi konselor, Membantu konselor dalam memahami diri kliennya sehingga
dapat menetapkan bentuk layanan bimbingan yang sesuai dengan keadaan dan
pribadinya.
3. Dilihat
dari proses layanan bimbingan Pengukuran psikologis mempunyai beberapa fungsi,
antara lain: a) Prediksi. Yaitu dapat digunakan untuk meramalkan kemungkinan
tingkah laku klien di masa datang. b) Diagnosa. Bahwa hasil pengukuran
psikologis sebagai dasar menetapkan jenis masalah/kesulitan, letak kesulitan
beserta penyebab terjadinya. Hasil diagnosa ini juga dapat digunakan untuk
menetapkan alternatif jenis dan layanan bimbingan yang sesuai. c) Monitoring.
Yaitu digunakan untuk melihat seberapa jauh perkembangan dan kemajuan siswa di
sekolah. d)Evaluasi. Berfungsi sebagai bahan informasi untuk dasar pengambilan
keputusan tentang perlakuan terhadap klien. e) Penelitian Sebagai informasi
atau tata penelitian tentang suatu hal tertentu berhubungan dengan tujuan
pengukuran, untuk menentukan tindak lanjut bimbingannya.
E. Sejarah
Tes Intelegensi
Di dalam buku Wayan Nurkancana (1993: 166)
dijelaskan bahwa usaha-usaha pengukuran intelegensi baru dimulai pada akhir
abad ke sembilan belas. Dan yang dipandang sebagai perintis pengukuran
intelegensi adalah Binet Simon. Hal ini berawal dari adanya masalah-masalah
yang timbul mengenai adanya perbedaan-perbedaan individual dalam kecakapan
antara murid-murid di Perancis pada tahun 1904.
Yang sebelumnya perbedaan ini belum dirasakan dikarenakan pada waktu
sebelumnya pengajaran hanya diberikan secara individual. Namun, ketika
pengajaran itu semakin meluas dan mulailah dipraktekkannya sistem klasikal,
barulah dirasakan adanya perbedaan individual tersebut dengan kapasitas yang
berbeda-beda. Ada anak yang mempunyai kapasitas yang cukup tingi, ada anak yang mempunyai
kapasitas sedang, dan ada anak yang mempunyai kapasitas rendah bahkan ada yang
sangat rendah, sehingga tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah dasar biasa.
Jadi harus dididik dalam sekolah luar biasa. Anak yang mempunyai kapasitas yang
sangat rendah tersebut disebut dengan anak yang lemah jiwa.
Untuk dapat membedakan, mana anak yang normal
yang dapat mengikuti pelajaran di SD biasa, dan mana anak-anak yang llemah
jiwa, maka perlulah adanya suatu alat pengukur. Dengan demikian, mulailah
dirasakan adanya kebutuhan untuk mendapatkan alat yang dapat membedakan antara
kedua gologan tersebut.
Salah seorang tokoh yang sangat tertarik
untuk menyelidiki permsalahan perbedaan individual tersebut adalah seorang ahli
bangsa Perancis bernama Alfred Binet. Sejak tahun 1890 ia telah mengadakan
percobaan-percobaan untuk menemukan alat yang dapat digunakan untuk mengukur
perbedaan individual. Sehingga muncullah tes intelegensi yang pertama kali yang
bernama:
1.
Tes
Binet-Simon pertama
Tes Binet-Simon pertama kali terbit pada
tahun 1905 dan ini berawal dari adanya perbedaan individual yang terjadi ketika
waktu pengajaran yang mulai dirasakan pada tahun 1904 di Perancis. Sehingga
Menteri Pendidikan dan Pengajaran Perancis menugaskan Alfred Binet untuk
menyusun alat pengukuran dengan tujuan permasalahan tersebut bisa diatasi.
Alfred Binet dibantu oleh Theodore Simon. Tes ini kemudian dikenal dengan
sebutan tes Binet Simon yang pertama. Tes ini terdiri dari seumlah
tugas/pertanyaan. Anak-anak yang dapat menjawab dengan betul sejumlah
pertanyaan tertentu dapat digolongkan sebagai anak yang normal. Sedangkan
apabila syarat ini tidak dipenuhi maka anak tersebut digolongkan anak yang
lemah jiwa.
2.
Tes
Binet-Simon kedua
Tes yang diterbitkan pada tahun 1905 masih
merupakan tes yang sederhana. Binet dan Simon terus berusaha untuk
menyempurnakan tes tersebut. Sehingga pada tahun 1908 dapat diterbitkan suatu
tes yang merupakan pembaharuan dari tes yang diterbitkan pada tahun 1905.
Tes-tes itu dibagi menjadi beberapa golongan menurut umur. Apabila seorang anak
dapat menjawab suatu tes yang termasuk kedalam golongan umur 5 tahun maka
dikatakan bahwa umur psikis anak tersebut adalah 5 tahun.
Berdasarkan perbedaan anatar umur kronologis
anak yang bersangkutan dengan umur psikisnya, maka anak-anak digolongkan
menjadi tiga golongan yaitu:
a.
Golongan
superior: apabila umur psikis yang dicapai lebih tinggi dua tahun atau lebih
dari umur kronologisnya.
b.
Golongan
anak normal: apabila umur psikis yang dicapai sama atau selisih satu tahun
dengan umur kronologisnya.
c.
Golongan
inferior: apabila umur psikis yang dicapai dua tahun lebih rendah dari umur
kronologisnya.
3.
Tes
Binet-Simon Ketiga
Tes yang diterbitkan oleh Binet dan Simon
tahun 1908 tersebut banyak menarik perhatian para ahli, baik di Eropa maupun
Amerika. Mereka mencobakan tes Binet-Simon di negaranya masing-masing, kemudian
melaporkan hasil-hasil yang mereka capai. Dari laporan tersebut ternyata bahwa
tes yang diterbitkan pada tahun 1908 itu masih mengandung kelemahan-kelemahan.
Oleh karena itu, Binet dan Simon kembali bekerja keras untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan tesnya.
Pada tahun 1911 terbitlah revisinya yang
terakhir. Dan setelah revisinya yang terakhir, Binet meninggal pada tahun itu
juga. Dalam revisi yang dilakukan ini, umur psikis seorang anak yang tidak
ditentukan oleh golongan umur tertinggi yang dapat dijawab secara benar oleh
anak. Umur psikis di mana suatu tes dapat dijawab dengan betul seluruhnya
disebut umur psikis dasar. Kemudia untuk setiap pertanyaan yang dapat dijawab
dengan benar pada seri pertanyaan di atas umur psikis dasar ini diberikan lagi
nilai sebesar satu tahun perjumlah pertanyaan dari seri tersebut. Misalnya satu
seri pertanyaan terdiri dari 6 pernyataan dan dapat dijawab dengan betul oleh
anak sebanyak 2 pertanyaan, maka kepada anak ini ditambahkan lagi umur psikis
sebanyak
tahun.
4.
Revisi-revisi
tes Binet-Simon
Setelah penerbitan tahun 1911, masih banyak
lagi yang dilakukan revisi-revisi terutama di Amerika Serikat. Beberapa revisi
yang penting antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Revisi
Kuhlmann.
Kuhlmann melakukan dua kali revisi yaitu yang
pertama pada tahun 1912, dan yang kedua pada tahun 1922.
b.
Revisi
yang dilakukan oleh Lewis M. Terman dari Stanford University, yang selanjutnya
terkenal dengan revisi Stanford pada tahun 1916.
Dari revisi Stanford dapat diketahui bahwa
ukuran kecerdasan seseorang yang didasarkan atas perbedaan umur psikis dan umur
kronologis ternyata tidak tepat. Sebab seorang anak yang berumur 4 tahun yang
mencapai umur psikis 5 tahun, ternayata setelah anak itu berumur 8 tahun ia
mencapai umur psikis 10 tahun. Jadi perbedaan umur kronologis dengan umur
psikis ternyata tidak tetap. Dan yang tetap ternyata adalah perbandingan
antara umur kronologis dengan umur psikis atau umur mental.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut, William
Stern mengemukakan bahwa untuk menentukan tingkat kecerdasan seseorang
hendaklah digunakan istilah “quetion psychis” yang merupakan indeks perbadingan
antara umur psikis dengan umur kronologis. Jadi apabila seorang anak berumur 4
tahun mencapai umur psikis 5 tahun, maka “quetion psychisnya” adlah 5:4 = 1,25.
c.
Revisi
Terman dan Daud Merril pada tahun 1937.
Terman tidak sependapat dengan William Stern
penggunaan istilah “quetion psychis”. Terman mengemukakan istilah Intelegensi
Quetion (IQ). Dan supaya mendapatkan bilangan bulat, maka diperoleh hasil
perbandingan antar umur spikis dan umur kronologis dikalikan dengan 100. Dengan
demikian maka anak yang brumur 4 tahun yang
mencapai umur psikis 5 tahun, intelegensi quetionnya adalah
. Bagi
Termen ukuran ini merupakan petunjuk terhadap kecerdasan seorang anak, oleh
karena ukuran ini pada hakekatnya menyatakan perbandingan antara perkembangan
psikis seorang anak normal sebaya.
d.
Revisi
Herring pada tahun 1922.
e.
Revisi
Noden pada tahun 1932.
5.
Berkembangnya
tes Intelegensi
Di samping berkembangnya tes Binet-Simon
dengan segala revisi-revisinya, kemudian berkembang pula jenis-jenis tes intelegensi yang lain. Beberapa
diantarnya yaitu:
a.
Tes
Wechsler
b.
Tes army
alpha dan army beta
c.
Tes
menggambar orang
d.
Tes
labirin
e.
Tes
progressive Matrics
Jadi, dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa usaha-usaha pengukuruan intelegensi baru dimulai pada akhir abad
kesembilan belas. Dan yang dapat dipadandang sebagai perintis pengukuran
intelegensi adalah Binet dan Simon. Setelah tes Binet-Simon barulah muncul
sejumlah tes intelegensi yang lain.
F. Jenis
Tes Intelegensi
Beberapa
jenis tes yang dapat digunakan untuk mengukur inteligensi atau kemajuan
intelektual akan diutarakan pada uraian berikut (A. Muri Yuusf, 2011:339):
a. Draw
a Man Test (DMT)
Tes ini adalah
menyangkut dengan gambar manusia, yang mula-mula dikembangkan oleh Sir Cyril
Burt pada tahun 1921. Tahun 1926 Florance menyempurnakan dan menerbitkan DMT
dalam bentuk tes standar. Tes ini dirancang untuk mengukur intelegensi peserta
didik berumur 5-11 tahun dengan sampel penyusunnan peserta didik kulit putih.
Pada tahun 1963, DMT direvisi oleh Dake B. Harris sehingga namanya berubah
menjadi Goodnough Harris Drawing Test (GBHDT).
b. Test
Binet Simon
Test mula-mula
dikembangkan oleh Alfred Binet (1857-1911) dan Theophile Simon (1873-1961),
pada tahun 1904 untuk dapat membedakan peserta didik “Mentally Relarded” dan normal. Tes ini dirancang untuk umur yang
berbeda atau dalam kelompok umur-umur tertentu.
KLASIFIKASI
|
IQ
|
Genius
|
140 Ke atas
|
Sangat Cerdas
|
130-139
|
Cerdas
(Superior)
|
120-129
|
Diatas
Rata-rata
|
110-119
|
Rata-rata
|
90-109
|
Di Bawah
Rata-rata
|
80-89
|
Garis Bawah
(Bodoh)
|
70-79
|
Lemah Jiwa
|
Di bawah 70
|
c. Raven’s
Progressive Matrices
Tes ini diterbitkan
oleh J.C Raven pada tahun 1938, dan dirancang untuk mengukur “faktor G” (General Factor). Raven’s Progressive
Matrices (RPM) merupakan tes intelegensi yang meminimalkan pengaruh kebudayaan,
sebab tes ini “ non verbal” dan Non Factorial” serta didasarkan bentuk
geometrik sederhana.
Tes RPM bukanlah
tes verbal, tetapi tes yang bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan
membandingkan penalaran dengan analogy serta cara berfikir logis.
Tes RPM ini
dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Standard
progresive matrices (SPM), dirancang untuk mengukur intelektual seseorang mulai
umur 6 tahun sampai dewasa yang terdiri dari 12 pola masing-masing set (5).
2. Coloured
progressive matrices (CPM), tes ini digunakan untuk peserta didik berusia 4-6 tahun, karena lebih mudah dengan
gambar bewarna.
3. Advanced
progessive matrices (APM), tes ini dirancang untuk mahasiswa S2, tes ini hampir
sama dengan tes SPM , tetapi kesukarannya lebih tinggi.
d. Rulon’s
Semantic Test of Intellegence (STI)
Tes ini disusun
oleh Rulon ini dapat digunakan untuk mengukur intelegensi atau kemampuan verbal
orang yang tidak pandai membaca. Tes ini berisikan gambar-gambar dan
disampaikan kepada peserta didik yang diuji secara pantomine. Peserta didik
menjawab berdasarkan gambar yang dilengkapinya.
e. The
Wechsler Scales
Skala ini
merupakan “Tes Batterai”yang
dikembangkan oleh David Weshsler. Ia dilahirkan pada tahun 1896 dan merupakan
ahli psikologi pada Belluvue Psychiatric Hospital di New York. Tes ini dibagi
menjadi tiga bentuk yaitu : Weshsler-Bellevue
Intellegence Scale (1939), Wechsler
Intellegence Scale for Children (1949), Wechsler
Adult Intellegence Scale (1955).
KLASIFIKASI
|
IQ
|
Very Superior
|
130 Keatas
|
Superior
|
120-129
|
Bright Normal
|
110-119
|
Average
|
90-109
|
Dull Normal
|
80-89
|
Borderline
|
70-79
|
Mental
Deffecitve
|
69
ebawah
|
G. Dasar
Penyusunan Tes Intelegensi
Dasar penyusunan tes intelegensi pada awalnya
merujuk dari tes yang dilahirkan oleh Binet dan Simon yang mengalami
revisi-revisi pada setiap perkembangannya. Menurut Sumadi Suryabrata (2005:157)
Dasar penyusunan tes intelegensi memiliki beberapa langkah yaitu sebagai
berikut:
1.
Pengembangan
spesifikasi tes intelegensi
Secara teori spesifikasi tes intelegensi
disusun berdasarkan bangunan teoritis tentang intelegensi itu pada umumnya.
Rekaan-rekaan atau konsep teoritis itu secara garis besar dapat digolongkan
menjadi lima kelompok, yaitu:
a.
Rekaan
yang bersifat spekulatif
Spearman menggolong rekaan-rekaan spekulatif
ini menjadi tiga kelompok yaitu (1) yang memberikan defenisi intelegensi umum,
(2) yang memberikan defenisi mengenai daya-daya jiwa khusus yang merupakan
bagian dari intelegensi, dan (3) yang memberikan defenisi intelegensi sebagai
taraf umum daripada sejumlah daya-daya jiwa khusus.
b.
Rekaan-rekaan
pragmatis
Dasar rekaan ini adalah apa yang dinyatakan
oleh Boring (1923) bahwa intelegensi adalah apa yang dites oleh tes
intelegensi.
c.
Rekaan-rekaan
faktor
Rekaan tersebut disusun berdasarkan hasil
analisis faktor. Dirintis oleh Spearman dan rekaan tersebut dapat diuraikan
seperti berikut.
1)
Teori
Spearman (Dwi Faktor)
Bahwa perilaku manusia dimungkinkan oleh dua
faktor yaitu (a) faktor umum (general factor) dan (b) faktor khusus. Faktor
umum bergantung kepada dasar, sedangkan faktor khusus dipengaruhi oleh pengalaman.
2)
Teori
Thomson
Menurut Thomson perilaku manusia hanya
dimungkinkan oleh faktor khusus saja yang bergantung kepada pendidikan.
3)
Teori
Cyrill Burt
Bahwa manusia mempunyai faktor umum yang
mendasari semua perilakunya dan tiap-tiap orang memiliki banyak faktor khusus.selain
itu juga ada faktor kelompok (Common Factor) yang diberi lambang C.
4)
Teori
Thurstone
Yang mendasari perilaku manusia yaitu faktor
S dan C, dan faktor C ada tujuh yaitu ingatan, verbal, bilangan, kelancaran
kata-kata, penalaran, persepsi, dan keruangan.
5)
Guilford
Intelegensi dapat dilihat dari tiga dasar,
yaitu (a) proses psikologis yang terlibat yakni, cognition, memory, divergent
production, convergent production, dan evaluation. (b) isi atau materi yang
diproses yakni figural, simbolic, semantic dan behavioral. (c) bentuk informasi
yang dihasilkan yaitu unit, classes, relations, systems, transformations dan
implication.
Dengan
demikian secara keseluruhan ada 5x4x6=120 macam faktor intelegensi.
d.
Rekaan
operasional
e.
Rekaan
fungsional
Disusun atas dasar pemikiran atau analisis
mengenai bagaimana berfungsinya intelegensi itu, lalu dirumuskan sifat-sifat
hakekatnya atau defenisinya.
1)
Kisi-kisi
tes
Kisi-kisi tes disusun atas rekaan teoritis
yang dijadikan dasar pengembangan tess intelegensi terntentu.
2)
Subjek
yang akan di tes
Spesifikasi mengenai subjek yang akan dites
sangat penting, oleh karena tes ini terkait dengan sampel yang dites.
Pentingnya spesifikasi subjek ini terutama berkenaan dengan penyusunan norma
dan pembakuan.
3)
Tujuan
testing
Pada umumnya tujuan testing tes intelegensi
adalah untuk menentukan kedudukan relatif seseorang di dalam kelompok. Jika ada
tujuan lain harus dinayatakan secara spesifik.
4)
Materi
tes
Materi yang akan digunakan harus dirumuskan
dengan jelas, apakah tes verbal, figural, performance atau kombinasi berbagai
materi, perlu dirumuskan dengan jelas.
5)
Jumlah
soal
Jumlah soal untuk keseluruhan tes dan untuk
masing-masing bagiannya perlu dinyatakan secara jelas dan jumlah soal
masing-masing bagian itu sama.
6)
Taraf
kesukaran soal
Kalau dimaksudkan untuk menghasilkan skor
yang berdistribusi normal maka harus dinayatakan bahwa taraf kesukaran soal
akan mempunyai harga rata-rata p=0,50 dan berdistribusi normal.
2.
Pengembangan
Soal
Soal yang dikembangkan akan tergantung kepada
spesifikasinya, mungkin soal-soal itu bersifat figural seperti misalnya SPM
yang dikembangkan oleh Raven. Secara teori SPM dimaksudkan untuk mengukur faktor
g menurut teori Spearman. Penyelesaian soal-soal SPM menuntut penerapan
prinsp-prinsip berpikir tertentu yang ditampilkan dalam bentuk gambar. Tes
Wechsler misalnya terdiri atas dua subtes, yaitu verbal dan
nonverbalm(performance).
3.
Penelaahan
soal
Penelaahan soal dirujuk dari kisi-kisi tes
sebagai rujukan yang lebih penting, karena beragamnya dasar teoritis yang
mungkin dijadikan acuan. Kecuali tes berupa gambar akan menntut penelaah soal
memiliki kemampuan profesioanl yang lebih dari tes-tes verbal. Demikian pula
tes performance.
4.
Perakitan
soal
Karena rancangan tes sudah terarah, maka
perakitan soal relatif lebih mudah dilakukan.
5.
Uji coba
tes
Pemilihan subjek untuk uji coba tes harus
dilakukan secara hati-hati, agar kelompom subjek itu mencerminkan populasinya.
Wilayah generalisasinya sangat luas, dan ini harus selalu diperhitungkan dalam
tiap langkah pengembangan tes intelegensi.
6.
Analisis
butir soal
Analisis hasil uji coba perlu disesuaikan
dengan materi tes dan tipe soal yang dipakai.
7.
Seleksi
dan perakitan soal
Berdasarkan atas hasil analisis soal perlu
dilakukan seleksi soal. Seleksi soal ini pada dasarnya dilakukan dengan cara
yang lazim untuk tes atribut kognitif. Dan perlu disesuaikan dengan materi tes
dan tipe soal yang digunakan, sesuai dengan spesifikasi yang telah dirumuskan.
KEPUSTAKAAN
A.Muri Yusuf. 2011. Asesmen
dan Evaluasi Pendidikan. Padang: UNP Press.
Robert
J. Gregory. 2010. Tes Psikologi Sejarah,
Prinsip dan Aplikasi. Jakarta: Erlangga.
Sarlito W. Sarwono. 2012. Psikologi
Umum. Jakarta: Rajawali Pers.
Sumadi
Suryabrata. 2005. Pengembangan Alat Ukur
Psikologi. Yogyakarta: Andi Sofiet.
Wayan
Nurkancana. 1993. Pemahaman Individu.
Surabaya: Usaha Nasional.
PENGUKURAN DAN PENILAIAN DALAM BK
TUGAS 1
“Pengertian Pengukuran,
Penilaian (Assessment) dan Evaluasi
Dalam Bimbingan dan Konseling”
Dosen Pembina:
Prof. Dr. A. Muri Yusuf, M.Pd.
Dr. Riska Ahmad, M.Pd., Kons.
Oleh,
Wiwi Delfita
NIM. 17151049/2017
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar