PENDEKATAN KONSELING REALITAS
A.
Pandangan tentang Manusia
Glasser percaya
bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara terus menerus
hadir sepanjang rentang kehidupan yang harus di penuhi. Ketika seseorang mengalami
masalah, hal tersebut disebabkan oleh satu faktor, yaitu terhambatnya seseorang
dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Keterhambatan tersebut pada dasarnya
karena penyangkalan terhadap realita yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari
hal-hal yang menyenangkan. Mengacu pada teori hirarki kebutuhan yang di
kemukakan oleh maslow, glasser mendasari pandanganya tentang kebutuhan manusia
untuk dicintai dan mencintai, dan kebutuhan untuk merasa berharga bagi
orang lain. Secara lebih rinci Glesser menjelaskan kebutuhan– kebutuhan dasar
psikologis manusia, meliputi:
1. Cinta
è Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhanya untu meresa
memiliki atau terlibat diri dengan orang lain. Kebutuhan ini di sebut dengan identity society, yang menekankan
pentingnya hubungan personal. Contohnya persahabatan, acara perkumpulan
tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan.
2. Kekuasaan
è Kebutuhan akan kekuasaan (power)
meliputi kebutuhan untuk berprestasi merasa berharga dan mendapatkan
pengakuan.kebutuhan ini biasanya di ekspresikan melalui kompetisi dengan
orang-orang di sekitar kita, memimpin, mengorganisir, menyelesaikan pekerjaan
sebaik mungkin, meminta pendapat bagi orang lain, melontarkan ide dan lainnya.
3. Kesenangan
è Merupakan kebutuhan untuk merasa senang,bahagia.pada kanak-kanak terlihat
dalam aktifitas bermain.kebutuhan ini muncul sejak dini,kemudian terus
berkembang hingga kepenatan, bersantai, melucu, humor, dll.
4.
Kebebasan (Freedom)
è Kebebasan merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan
dan tidak bergantung dengan orang lain. Misalnya membuat pilihan (aktif pada
organisasi kemahasiswaan), bergerak berpindah dari satu tempat ketempat lain,
kebutuhan tersebut berbentuk universal, tetapi di penuhi dengan cara yang unik
oleh masing-masing manusia.
B.
Konsep Pokok Konseling Realitas
Pada dasarnya
setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan keinginanya dimana
kebutuhan bersifat unuversal pada semua individu sementara ke inginan bersifat
unik pada masing-masing individu.
1.
Teori kepribadian
Glasser berpandangan bahwa semua manusia memiliki kebutuhan dasar yaitu
kebutuhan fisiologis dan psikologis. Perilaku manusia dimotivasi untuk memenuhi
kedua kebutuhan tersebut. Kebutuhan fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan
pandangan ahli lain, sedangkan kebutuhan psikilogis manusia menurut glasser
yang mendasar ada dua macam yaitu : (1) kebutuhan dicintai dan mencintai, dan
(2) Kebutuhan akan penghargaan (George dan Cris-tiani, 1990). Kedua kebutuhan
psikologis itu dapat digabung menjadi satu kebutuhan yang sangat utama yang
disebut kebutuhan identitas (identity).
Identitasnya merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri sebagai manusia
dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia luarnya. Setiap orang
mengembangkan gambaran identitasnya (identity
image) berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologisnya.
Anak yang berhasil menemukan kebutuhannya, yaitu terpenuhinya kebutuhan
cinta dan penghargaan akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang
berhasil dan membentuk identitasnya dengan
(success identity) sebaliknya jika anak yang gagal menemukan kebutuhannya,
akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang gagal dan membentuk
identitasnya dengan identitas kegagalan (failure
identity). Untuk mengembangkan identitas keberhasilan, individu harus
memiliki dua kebutuhan dasar yang dijumpai, yaitu (1) mengetahui bahwa
setidaknya seseorang mencintainya dan dia mencintai setidaknya seorang, dan (2)
memandang dirinya sebagai orang yang berguna selain secara simultan
berkeyakinan bahwa orang lain melihatnya sebagai orang yang berguna. Kedua
kebutuhan ini (cinta dan berguna) ada pada individu, bukan salah satunya.
Kedua kebutuhan dasar tersebut ada dan terbentuk sejak masa kanak-kanak.
sepanjang berinteraksi dengan orangtua atau pihak lain yang terdekatnya (significant others), anak mempelajari
bagaimana mencintai dan menghargai orang lain. Anak pada mulanya mengamati
bagaimana orangtuanya mencintai dan menghargai dirinya. Bermula dari
pengalaman-pengalaman pnya dalam memperoleh cinta dan penghargaan dari orang
tua itu anak akan merasakan apakah kebutuhannya tercapai atau tidak. Dengan
demikian konseling Realitas sebagian besar memandang individu pada prilakunya,
tetapi berbeda dengan behavioral yang melihat prilaku dalam konteks hubungan
stimulus respon, dan berbeda pula dengan pandangan konsling berpusat pada
person yang melihat prilaku dalam konteks venomenologis. Prilaku dalam
pandangan konsling realitas adalah prilaku dengan standar yang obyektif yang
dikatakan dengan "reality".
2.
Teori kontrol
Penerimaan terhadap realita, menurut glasser harus tercermin dalam perilaku
total (total behavior) yang
mengandung empat komponen yaitu berbuat (doing),
berpikir (thinking), merasakan (fiiling), dan menunjukan respon-respon
fisiologis (phsysiology). Glesser
dalam corey (1991:524) menjelaskan bahwa secara langsung merubah cara kita
merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal yang
sangat sulit dilakukan.meskipun demikian, kita memiliki kemampuan untuk apa
yang kita lakukan dan pikirkan apapun yang mungkin bisa kita rasakan.
Oleh karena itu, kunci untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan
apapun yang mungkin kita bisa rasakan.perilaku total terletak pada pemilihan
untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sehingga tindakan dan
pikiranlah yang berperan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu. Ketika
seseorang berhasil memenuhi kebutuhanya orang tersebut mencapai idetitas
sukses.pencapaian identitas sukses ini terkait pada konsep 3R yaitu resposibility (bertanggung jawab), reality (realita) dan right (benar).
3.
Konsep Dasar 3R
ü Right (kebenaran): merupakan aturan atau norma-norma
yang diterima secara umum, sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan.
Individu yang melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sehingga bila melakukan
sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa nyaman bila mampu
bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secara umum.
ü Responsibilty (tanggung jawab): merupakan kemampuan individu
untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus merugikan orang lain.
ü Reality (kenyataan): merupakan kenyataan yang akan
menjadi tantangan bagi individu untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu
harus memahami bahwa ada dunia nyata, di mana mereka harus memenuhi
kebutuha-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realita yang dimaksud
adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan yang ada dan apa adanya.
C.
Tujuan Konseling Realitas
Tujuan utama
pendekatan konseling ini untuk membantu menghubungkan (connect) atau menghubungkan ulang (reconnected) klien dengan orang lain yang mereka pilih untuk
mendasari kualitas hidupnya. Di samping itu, konseling realitas juga bertujuan
untuk membantu klien belajar memenuhi kebutuhannya dengan cara yang lebih baik,
yang meliputi kebutuhan mencintai dan dicintai, kekuasaan atau berprestasi,
kebebasan atau independensi, serta kebutuhan untuk senang. Sehingga mereka
mampu mengembangkan identitas berhasil. Tujuan
konseling realitas adalah sebagai berikut:
1.
Menolong individu agar mampu
mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam
bentuk nyata.
2.
Mendorong konseli agar berani
bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan
dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3.
Mengembangkan rencana-rencana nyata
dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4.
Perilaku yang sukses dapat
dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan
menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5.
Terapi ditekankan pada disiplin
dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
D.
Prosedur Konseling Realitas
Untuk mencapai
tujuan-tujuan konseling itu, ada prosedur yang harus diperhatikan oleh konselor
realitas, yaitu:
1.
Berfokus pada personal
è Prosedur utama adalah mengkomunikasikan perhatian konselor kepada klien.
Perhatian itu ditandai oleh hubungan hangat dan pemahamannya ini merupakan
kunci keberhasilan konseling. Keterlibatan yang dicapai konselor dapat menjadi
fungsi kebebasan, bertanggung jawab dan otonomi pada klien.
2.
Berfokus pada perilaku
è Konseling realitas berfokus pada perilaku tidak pada perasaan dan sikap.
Konselor dapat meminta klien untuk “melakukan sesuatu menjadi lebih baik” dan
bukan memita klien “merasakan yang lebih baik”. Antara perasaan dengan perilaku
pada dasarnya memiliki hubungan.
3.
Berfokus pada saat ini
è Konseling realitas memandang tidak perlu melihat masa lalu klien. Konselor
tidak perlu melakukan eksplorasi terhadap pengalaman-pengalaman yang irrasional
di masa lalunya, hal ini sejalan dengan tujuan konseling menurut Glasser ada 3
tahap, yaitu:
a.
Melihat perilakunya (yang
terakhir) adalah yang tidak realistik.
b.
Menolak perilaku klien yang tidak
bertanggung jawab.
c.
Mengajarkan cara yang terbaik
menemukan kebutuhannya dalam dunia riil.
4.
Pertimbangan nilai
è Konseling realitas menganggap pentingnya melakukan pertimbangan nilai.
Klien perlu menilai kualitas perilakunya sendiri apakah perilakumya itu
bertanggung jawab, rasional, realistik dan benar atau sebaliknya. Penilaian
perilakunya oleh diri klien akan membantu kesadarannya tentang dirinya untuk
melakukan hal-hal yang positif atau mencapai identitas keberhasilan.
5.
Pentingnya perencanaan
è Kesadaran klien tentang perilakunyayang tidak brertanggung jawab harus
dilanjutkan dengan perencanaan untuk mengubahnya menjadi perilaku yang
bertanggung jawab. Konseling realitas beranggapan konseling harrus mampu
menyusun rencana-rencana yang realistik sehingga tingkah lainnya menjadi lebih
baik, menjadi orang yang memiliki identitas keberhasilan. Untuk mencapai hal ini
konselor bertugas membantu klien untuk memperoleh pengalaman berhasil pada
tingkat-tingkat yang sulit secara progresif.
6.
Komitmen
è Klien harus memiliki komitmen atau keterikatan untuk melaksanakan rencana
itu. Komitmen ditunjukkan dengan kesediaan klien sekaligus secara riil
melaksanakan apa yang direncanakan. Konselor terus menyakinkan klien bahwa
kepuasan atau kebahagiaanya sangat ditentukan oleh komitmen pelaksanaan
rencana-rencananya.
7.
Tidak menerima dalih
è Ketika klien melaporkan alasan-alasan kegagalan ini, sebaliknya konselor
menolak menerima dalih/ alasan-alasan yang dikememukakan klien. Justru saat itu
konselor perlu membuat reencana dan membuat komitmen baru untuk melaksanakan
upaya lebih lanjut. Yang lebih penting bagi konselor adalah menanyakan apa
rencana lebih lanjut dan kapan mulai melaksanakannya.
8.
Menghilangkan hukuman
è Konseling realitas tidak memperlakukan hukuman sebagai tteknik pengubahan
perilaku. Hukuman yang biasanya dilakukan dengan kata-kata yang mencela dan
menyakitkan hati klien harus dihilangkan, setidaknya dalam hubungan konseling.
Glesser menganjurkan agar klien tidak dihikum dalam bentuk apa pun dibiarkan
belajar mendapatkan konsekuensi secara wajar dari perilakunya sendiri.
E.
Proses Konseling Realitas
Pendekatan ini
melihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada perilaku
sekarang dan saat ini. Artinya, konseli ditekankan untuk melihat perilakunya
yang dapat diamati dari pada motif-motif bawah sadarnya. Dengan demikian,
konseli dapat mengevaluasi apakah perilakunya tersebut cukup efektif dalam
memenuhi kebutuhanya atau tidak. Jika dirasa perilaku-perilaku yang ditampilkan
tidak membuat konseli merasa puas, maka konselor mengarahkan konseli untuk
melihat peluang-peluang yang dapat di lakukan dengan merencanakan tindakan yang
lebih bertanggung jawab.
Perilaku yang
bertanggung jawab merupakan perilaku-perilaku yang sesuai denan kenyataan yang
dihadapi, oleh Glasser disebut sebagai penerimaan terhadap realita. Dengan
demikian, dapat membantu konseli mengatasi tekanan-tekanan dan
permasalahan yang dialaminya. Menurut Glasser, hal-hal yang membawa perubahan
sikap dari penolakan ke penerimaan relaitas yang terjadi dalam proses konseling
adalah (Corey, 1991):
a. Konseli dapat mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan apa yang
dipersepsikan tentang kondisi yang dihadapinya. Disini konseli terdorong untuk
mengenali dan mendefinisikan apa yang mereka inginkan untuk memenuhi
kebutuhannya. Setelah mengetahui apa yang diinginkan, konseli lalu mengevaluasi
apakah yang ia lakukan selama ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
b. Konseli fokus pada perilaku sekarang tanpa terpaku pada permasalahan masa
lalu. Tahap ini merupakan keadaran konseli untuk memahami bahwa kondisi yang
dialaminya bukanlah hal yant bisa dipungkiri. Kemudian mereka mulai menentukan
alternative apa saja yang harus dilakukan. Disini konseli mengubah perilaku
totalnya, tidak hanya sikap dan perasaan, namun yang diutamakan adalah tindakan
dan pikiran.
c. Konseli mau mengevaluasi perilakunya, merupakan kondisi dimana
konseli membuat penilaian tentang apa yang telah ia lakukan terhadap dirinya
berdasarkan sistim nilai yang berlalaku di masyarakat. Apakah yang ia lakukan
dapat menolong dirinya atau sebaliknya, apakah hal itu bermanfaat, sudahkah
sesuai dengan aturan, dan apakah realistis atau dapat dicapai. Mereka menilai
kualitas perilakunya, sebab tanpa penilaian pada diri sendiri, perubahan akan
sulit terjadi, Evaluasi ini mencakup seluruh komponen perilaku total.
d. Konseli menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen terhadap apa
yang telah direncanakan. Rencana-rencana yang telah ditetapkan harus sesuai
dengan kemampuan konseli, bersifat konkrit atau jelas bagian mana dari
perilakunya yang akan dirubah, realistis dan melibatkan perbuatan posstif.
Rencana itu juga harus dilakukan berulang-ulang.
F.
Teknik-Teknik Konseling Realitas
Proses
konseling dalam Pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu
penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi
pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis,
Thompson, et. Al. (2004:115-120) mengemukakan delapan tahap dalam Konseling
Realita.
Tahap 1 :
Konselor Menunjukkan Keterlibatan dengan Konseli (Be Friend)
è Pada tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik,
hangat, dan menaruh perhatian pada hubunganyang sedang di bangun, konselor
harus dapat melibatkan diri pada konseli dengan memperlibatkan sikap hangat dan
ramah. Hubungan yang terbangun antara konselor dan konseli sangat penting, sebab
konseli akan terbuka dan bersedia menjani proses konseling jika dia merasa
bahwa konselornya terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu,
penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan
efektif.
è Menunjukkan keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukkan dengan perilakuattending. Perilaku
ini tampak pada kontak mata (menatap konseli), ekspresi wajah (menunjukkan
minatnya tanpa di buat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak maju kedepan dan
tidak bersandar), poros tubuh agak condong dan diarahkan ke konseli, melakukan
respon refleksi, memperhatikan perilaku nonverbal konseli, dan melakukan
respons parafrase.
è Setelah itu, konselor menunjukkan sikap bersahabat. Pada tahap awal,
umumnya konseli menunjukkan tidak membutuhkan bantuan konselor, terlebih bila
konseli tidak datag dengan sukarela, Meskipau konseli menunjukkan
ketidaksenangan, marah, atau bersikap tidak berkenan, dan sebagainya, Konselor
harus tetap menunjukkan sikap ramah da sopan, tetap tenang, dan tidak mengintimidasi
konseli. Kalimat yang diungkapkan konselor harus menunjukkan konselor
bersahabat dengan konseli. Respon yang diungkapkan juga tidak mengekspresikan
apa yang sedang dilakukan oleh konseli pada saat itu, tetapi menunjukkan
kekuatan dan fleksibilitas konseli, bukan kelemahan dan kekuatan konseli.
Mengapa? Karena pada dasarnya konseli bukan sedang marah pada konselor. Oleh
karena itu, respon konselor harus mengandung muatan bahwa ia sedang
menyampaikan terkadang marah bukanlah sebuah kesalahan, sebab dalam keadaan
tertentu, marah kadang menjadi pilihan. Berikut adalah contoh respons yang
menunjukkan sikap diatas.
Tahap 2 :Fokus pada Perilaku Sekarang
è Setelah konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor
menanyakan pada konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua ini
merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan
yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli
mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi
tersebut. Secara rinci tahap ini meliputi:
a.
Eksplorasi “picture album”
(keinginan), kebutuhan dan persepsi
b.
Menanyakan keinginan-keinginan
konseli
c.
Menanyakan apa yang benar-benar
diinginkan konseli
d.
Menanyakan apa yang terpikir oleh
konseli tentang yang diinginkan orang lain dari dirinya dan menanyakan
bagaimana melihat tersebut
è Pada tahap kedua ini konselor perlu mengatakan kepada konseli apa yang
dapat dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari konseli, dan bagaimana
konselor melihat situasi tersebut, kemudian membuat komitmen untuk konseling.
Tahap 3 : Mengeksplorasi Total Behavior Konseli
è Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu konselor
menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam
Konseling Realita; akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya
(doing), bukan pada perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali
menghadapi ujian ia mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan
Konseling Realita, yang harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi apa saja
yang telah dilakukannya untuk menghadapi ujian.
Tahap 4: Konseli Menilai Diri Sendiri atau
Melakukan Evaluasi
è Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan
perilakunya tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi
membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada
konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya
tersebut. Pada tahap ini, respon-respon konselor diantaranya menanyakan apakah
yang dilakukan konseli dapat membantunya keluar dari permasalahan atau
sebaliknya. Konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu
didasari oleh keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk
menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk
menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk
mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut. Kemudian
bertanya kepada konseli apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang
menjadi kebutuhan konseli saat ini, menanyakan apakah konseli akan tetap pada
pilihannya, apakah hal tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah
realitas, apakah benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan
konseli realistis atau dapat terjadi/dicapai, bagaimana konseli memandang
pilihan perilakunya, sehuingga konseli dapat menilai apakah hal tersebut cukup
membantunya, dan menanyakan komitmen konseli untuk mengikuti proses konseling.
Tahap 5: Merencanakan Tindakan yang
Bertanggungjawab
è Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak meyelesaikan
masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat
perencanaan tindakan yang lebih bertanggungjawab. Rencana yang disusun sifatnya
spesifik dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar dan
permasalahan yang sedang dihadapinya.
Tahap 6: Membuat komitmen
è Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah
disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
Tahap 7: Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan
Konseli
è Konseli akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah
disepakati bersama. Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan perubahan
perilaku konseli. Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang
telah direncanaknnya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk
dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseli untuk melihat kembali
rencana tersebut dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor
selanjutnya membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil
ia lakukan.
è Pada tahap ini sebaiknya konselor menghindari pertanyaan dengan kata
"Mengapa" sebab kecenderungannya konseli akan bersikap defensive dan
emncari-cari alasan. Kondisi: Pada waktu yang telah disepakati (dua minggu
setelah sesi sebelumnya) konseli dating menemui konselor. Dalam proses
konseling ia bercerita bahwa dalam waktu dua minggu ini ia tetap cemas ketika
jam pelajaran matematika karena tidak dapat menjawab soal-soal latihan yang
diberikan guru.
Tahap 8: Tindak lanjut
è Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi
perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika
tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai.
KEPUSTAKAAN
Fitra marsela. 2013. Model-
Model Konseling. (online). (http://modelkonseling.blogspot.com/2013/09/konseling-behavioral.html, diakses 7 April 2017).
Prayitno. 1998. Konseling
Pancawaskita. Padang: BK FIP Universitas Negeri Padang.
Stevic RR, Hansem JC and Warmer RW. 1977. Counseling: Theory and Process. Bostom: Allyn&bacon, Inc.
Taufik. 2012. Model-Model
Konseling. Padang: BK FIP Universitas Negeri Padang.