Jumat, 20 September 2019

KONSELING REALITAS

PENDEKATAN KONSELING REALITAS

A.      Pandangan tentang Manusia
Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara terus menerus hadir sepanjang rentang kehidupan yang harus di penuhi. Ketika seseorang mengalami masalah, hal tersebut disebabkan oleh satu faktor, yaitu terhambatnya seseorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Keterhambatan tersebut pada dasarnya karena penyangkalan terhadap realita yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang menyenangkan. Mengacu pada teori hirarki kebutuhan yang di kemukakan oleh maslow, glasser mendasari pandanganya tentang kebutuhan manusia untuk dicintai dan mencintai, dan kebutuhan untuk  merasa berharga bagi orang lain. Secara lebih rinci Glesser menjelaskan kebutuhan– kebutuhan dasar psikologis manusia, meliputi:
1.    Cinta
è Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhanya untu meresa memiliki atau terlibat diri dengan orang lain. Kebutuhan ini di sebut dengan identity society, yang menekankan pentingnya hubungan personal. Contohnya persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan.
2.    Kekuasaan
è Kebutuhan akan kekuasaan (power) meliputi kebutuhan untuk berprestasi merasa berharga dan mendapatkan pengakuan.kebutuhan ini biasanya di ekspresikan melalui kompetisi dengan orang-orang di sekitar kita, memimpin, mengorganisir, menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, meminta pendapat bagi orang lain, melontarkan ide dan lainnya.
3.    Kesenangan
è Merupakan kebutuhan untuk merasa senang,bahagia.pada kanak-kanak terlihat dalam aktifitas bermain.kebutuhan ini muncul sejak dini,kemudian terus berkembang hingga   kepenatan, bersantai, melucu, humor, dll.
4.    Kebebasan (Freedom)
è Kebebasan merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak bergantung dengan orang lain. Misalnya membuat pilihan (aktif pada organisasi kemahasiswaan), bergerak berpindah dari satu tempat ketempat lain, kebutuhan tersebut berbentuk universal, tetapi di penuhi dengan cara yang unik oleh masing-masing manusia.

B.       Konsep Pokok Konseling Realitas
Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan keinginanya dimana kebutuhan bersifat unuversal pada semua individu sementara ke inginan bersifat unik pada masing-masing individu.
1.    Teori kepribadian
Glasser berpandangan bahwa semua manusia memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis. Perilaku manusia dimotivasi untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Kebutuhan fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan pandangan ahli lain, sedangkan kebutuhan psikilogis manusia menurut glasser yang mendasar ada dua macam yaitu : (1) kebutuhan dicintai dan mencintai, dan (2) Kebutuhan akan penghargaan (George dan Cris-tiani, 1990). Kedua kebutuhan psikologis itu dapat digabung menjadi satu kebutuhan yang sangat utama yang disebut kebutuhan identitas (identity). Identitasnya merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia luarnya. Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya (identity image) berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologisnya.
Anak yang berhasil menemukan kebutuhannya, yaitu terpenuhinya kebutuhan cinta dan penghargaan akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang berhasil dan membentuk identitasnya dengan (success identity) sebaliknya jika anak yang gagal menemukan kebutuhannya, akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang gagal dan membentuk identitasnya dengan identitas kegagalan (failure identity). Untuk mengembangkan identitas keberhasilan, individu harus memiliki dua kebutuhan dasar yang dijumpai, yaitu (1) mengetahui bahwa setidaknya seseorang mencintainya dan dia mencintai setidaknya seorang, dan (2) memandang dirinya sebagai orang yang berguna selain secara simultan berkeyakinan bahwa orang lain melihatnya sebagai orang yang berguna. Kedua kebutuhan ini (cinta dan berguna) ada pada individu, bukan salah satunya.
Kedua kebutuhan dasar tersebut ada dan terbentuk sejak masa kanak-kanak. sepanjang berinteraksi dengan orangtua atau pihak lain yang terdekatnya (significant others), anak mempelajari bagaimana mencintai dan menghargai orang lain. Anak pada mulanya mengamati bagaimana orangtuanya mencintai dan menghargai dirinya. Bermula dari pengalaman-pengalaman pnya dalam memperoleh cinta dan penghargaan dari orang tua itu anak akan merasakan apakah kebutuhannya tercapai atau tidak. Dengan demikian konseling Realitas sebagian besar memandang individu pada prilakunya, tetapi berbeda dengan behavioral yang melihat prilaku dalam konteks hubungan stimulus respon, dan berbeda pula dengan pandangan konsling berpusat pada person yang melihat prilaku dalam konteks venomenologis. Prilaku dalam pandangan konsling realitas adalah prilaku dengan standar yang obyektif yang dikatakan dengan "reality".

2.    Teori kontrol
Penerimaan terhadap realita, menurut glasser harus tercermin dalam perilaku total (total behavior) yang mengandung empat komponen yaitu berbuat (doing), berpikir (thinking), merasakan (fiiling), dan menunjukan respon-respon fisiologis (phsysiology). Glesser dalam corey (1991:524) menjelaskan bahwa secara langsung merubah cara kita merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.meskipun demikian, kita memiliki kemampuan untuk apa yang kita lakukan dan pikirkan apapun yang mungkin bisa kita rasakan.
Oleh karena itu, kunci untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan apapun yang mungkin kita bisa rasakan.perilaku total terletak pada pemilihan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sehingga tindakan dan pikiranlah yang berperan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu. Ketika seseorang berhasil memenuhi kebutuhanya orang tersebut mencapai idetitas sukses.pencapaian identitas sukses ini terkait pada konsep 3R yaitu resposibility (bertanggung jawab), reality (realita) dan right (benar).

3.    Konsep Dasar 3R
ü  Right (kebenaran): merupakan aturan atau norma-norma yang diterima secara umum, sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sehingga bila melakukan sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa nyaman bila mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secara umum.
ü  Responsibilty (tanggung jawab): merupakan kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus merugikan orang lain.
ü  Reality (kenyataan): merupakan kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi individu untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus memahami bahwa ada dunia nyata, di mana mereka harus memenuhi kebutuha-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realita yang dimaksud adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan yang ada dan apa adanya.

C.      Tujuan Konseling Realitas
Tujuan utama pendekatan konseling ini untuk membantu menghubungkan (connect) atau menghubungkan ulang (reconnected) klien dengan orang lain yang mereka pilih untuk mendasari kualitas hidupnya. Di samping itu, konseling realitas juga bertujuan untuk membantu klien belajar memenuhi kebutuhannya dengan cara yang lebih baik, yang meliputi kebutuhan mencintai dan dicintai, kekuasaan atau berprestasi, kebebasan atau independensi, serta kebutuhan untuk senang. Sehingga mereka mampu mengembangkan identitas berhasil. Tujuan konseling realitas adalah sebagai berikut:
1.        Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2.        Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3.        Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4.        Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5.        Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.

D.      Prosedur Konseling Realitas
Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling itu, ada prosedur yang harus diperhatikan oleh konselor realitas, yaitu:
1.        Berfokus pada personal
è Prosedur utama adalah mengkomunikasikan perhatian konselor kepada klien. Perhatian itu ditandai oleh hubungan hangat dan pemahamannya ini merupakan kunci keberhasilan konseling. Keterlibatan yang dicapai konselor dapat menjadi fungsi kebebasan, bertanggung jawab dan otonomi pada klien.
2.        Berfokus pada perilaku
è Konseling realitas berfokus pada perilaku tidak pada perasaan dan sikap. Konselor dapat meminta klien untuk “melakukan sesuatu menjadi lebih baik” dan bukan memita klien “merasakan yang lebih baik”. Antara perasaan dengan perilaku pada dasarnya memiliki hubungan.
3.        Berfokus pada saat ini
è Konseling realitas memandang tidak perlu melihat masa lalu klien. Konselor tidak perlu melakukan eksplorasi terhadap pengalaman-pengalaman yang irrasional di masa lalunya, hal ini sejalan dengan tujuan konseling menurut Glasser ada 3 tahap, yaitu:
a.    Melihat perilakunya (yang terakhir) adalah yang tidak realistik.
b.    Menolak perilaku klien yang tidak bertanggung jawab.
c.    Mengajarkan cara yang terbaik menemukan kebutuhannya dalam dunia riil.
4.      Pertimbangan nilai
è Konseling realitas menganggap pentingnya melakukan pertimbangan nilai. Klien perlu menilai kualitas perilakunya sendiri apakah perilakumya itu bertanggung jawab, rasional, realistik dan benar atau sebaliknya. Penilaian perilakunya oleh diri klien akan membantu kesadarannya tentang dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif atau mencapai identitas keberhasilan.
5.         Pentingnya perencanaan
è Kesadaran klien tentang perilakunyayang tidak brertanggung jawab harus dilanjutkan dengan perencanaan untuk mengubahnya menjadi perilaku yang bertanggung jawab. Konseling realitas beranggapan konseling harrus mampu menyusun rencana-rencana yang realistik sehingga tingkah lainnya menjadi lebih baik, menjadi orang yang memiliki identitas keberhasilan. Untuk mencapai hal ini konselor bertugas membantu klien untuk memperoleh pengalaman berhasil pada tingkat-tingkat yang sulit secara progresif.
6.         Komitmen
è Klien harus memiliki komitmen atau keterikatan untuk melaksanakan rencana itu. Komitmen ditunjukkan dengan kesediaan klien sekaligus secara riil melaksanakan apa yang direncanakan. Konselor terus menyakinkan klien bahwa kepuasan atau kebahagiaanya sangat ditentukan oleh komitmen pelaksanaan rencana-rencananya.
7.        Tidak menerima dalih
è Ketika klien melaporkan alasan-alasan kegagalan ini, sebaliknya konselor menolak menerima dalih/ alasan-alasan yang dikememukakan klien. Justru saat itu konselor perlu membuat reencana dan membuat komitmen baru untuk melaksanakan upaya lebih lanjut. Yang lebih penting bagi konselor adalah menanyakan apa rencana lebih lanjut dan kapan mulai melaksanakannya.
8.        Menghilangkan hukuman
è Konseling realitas tidak memperlakukan hukuman sebagai tteknik pengubahan perilaku. Hukuman yang biasanya dilakukan dengan kata-kata yang mencela dan menyakitkan hati klien harus dihilangkan, setidaknya dalam hubungan konseling. Glesser menganjurkan agar klien tidak dihikum dalam bentuk apa pun dibiarkan belajar mendapatkan konsekuensi secara wajar dari perilakunya sendiri.

E.       Proses Konseling Realitas
Pendekatan ini melihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada perilaku sekarang dan saat ini. Artinya, konseli ditekankan untuk melihat perilakunya yang dapat diamati dari pada motif-motif bawah sadarnya. Dengan demikian, konseli dapat mengevaluasi apakah perilakunya tersebut cukup efektif dalam memenuhi kebutuhanya atau tidak. Jika dirasa perilaku-perilaku yang ditampilkan tidak membuat konseli merasa puas, maka konselor mengarahkan konseli untuk melihat peluang-peluang yang dapat di lakukan dengan merencanakan tindakan yang lebih bertanggung jawab.
Perilaku yang bertanggung jawab merupakan perilaku-perilaku yang sesuai denan kenyataan yang dihadapi, oleh Glasser disebut sebagai penerimaan terhadap realita. Dengan demikian, dapat membantu  konseli mengatasi tekanan-tekanan dan permasalahan yang dialaminya. Menurut Glasser, hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan ke penerimaan relaitas yang terjadi dalam proses konseling adalah (Corey, 1991):
a.     Konseli dapat mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan apa yang dipersepsikan tentang kondisi yang dihadapinya. Disini konseli terdorong untuk mengenali dan mendefinisikan apa yang mereka inginkan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah mengetahui apa yang diinginkan, konseli lalu mengevaluasi apakah yang ia lakukan selama ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
b.    Konseli fokus pada perilaku sekarang tanpa terpaku pada permasalahan masa lalu. Tahap ini merupakan keadaran konseli untuk memahami bahwa kondisi yang dialaminya bukanlah hal yant bisa dipungkiri. Kemudian mereka mulai menentukan alternative apa saja yang harus dilakukan. Disini konseli mengubah perilaku totalnya, tidak hanya sikap dan perasaan, namun yang diutamakan adalah tindakan dan pikiran.
c.      Konseli mau mengevaluasi perilakunya, merupakan kondisi dimana konseli membuat penilaian tentang apa yang telah ia lakukan terhadap dirinya berdasarkan sistim nilai yang berlalaku di masyarakat. Apakah yang ia lakukan dapat menolong dirinya atau sebaliknya, apakah hal itu bermanfaat, sudahkah sesuai dengan aturan, dan apakah realistis atau dapat dicapai. Mereka menilai kualitas perilakunya, sebab tanpa penilaian pada diri sendiri, perubahan akan sulit terjadi, Evaluasi ini mencakup seluruh komponen perilaku total.
d.    Konseli menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen terhadap apa yang telah direncanakan. Rencana-rencana yang telah ditetapkan harus sesuai dengan kemampuan konseli, bersifat konkrit atau jelas bagian mana dari perilakunya yang akan dirubah, realistis dan melibatkan perbuatan posstif. Rencana itu juga harus dilakukan berulang-ulang.

F.       Teknik-Teknik Konseling Realitas
Proses konseling dalam Pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis, Thompson, et. Al. (2004:115-120) mengemukakan delapan tahap dalam Konseling Realita.
Tahap 1 : Konselor Menunjukkan Keterlibatan dengan Konseli (Be Friend)
è Pada tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik, hangat, dan menaruh perhatian pada hubunganyang sedang di bangun, konselor harus dapat melibatkan diri pada konseli dengan memperlibatkan sikap hangat dan ramah. Hubungan yang terbangun antara konselor dan konseli sangat penting, sebab konseli akan terbuka dan bersedia menjani proses konseling jika dia merasa bahwa konselornya terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan efektif.
è Menunjukkan keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukkan dengan perilakuattending. Perilaku ini tampak pada kontak mata (menatap konseli), ekspresi wajah (menunjukkan minatnya tanpa di buat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak maju kedepan dan tidak bersandar), poros tubuh agak condong dan diarahkan ke konseli, melakukan respon refleksi, memperhatikan perilaku nonverbal konseli, dan melakukan respons parafrase.
è Setelah itu, konselor menunjukkan sikap bersahabat. Pada tahap awal, umumnya konseli menunjukkan tidak membutuhkan bantuan konselor, terlebih bila konseli tidak datag dengan sukarela, Meskipau konseli menunjukkan ketidaksenangan, marah, atau bersikap tidak berkenan, dan sebagainya, Konselor harus tetap menunjukkan sikap ramah da sopan, tetap tenang, dan tidak mengintimidasi konseli. Kalimat yang diungkapkan konselor harus menunjukkan konselor bersahabat dengan konseli. Respon yang diungkapkan juga tidak mengekspresikan apa yang sedang dilakukan oleh konseli pada saat itu, tetapi menunjukkan kekuatan dan fleksibilitas konseli, bukan kelemahan dan kekuatan konseli. Mengapa? Karena pada dasarnya konseli bukan sedang marah pada konselor. Oleh karena itu, respon konselor harus mengandung muatan bahwa ia sedang menyampaikan terkadang marah bukanlah sebuah kesalahan, sebab dalam keadaan tertentu, marah kadang menjadi pilihan. Berikut adalah contoh respons yang menunjukkan sikap diatas.

Tahap 2 :Fokus pada Perilaku Sekarang
è Setelah konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan pada konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut. Secara rinci tahap ini meliputi:
a.       Eksplorasi “picture album” (keinginan), kebutuhan dan persepsi
b.      Menanyakan keinginan-keinginan konseli
c.       Menanyakan apa yang benar-benar diinginkan konseli
d.      Menanyakan apa yang terpikir oleh konseli tentang yang diinginkan orang lain dari dirinya dan menanyakan bagaimana melihat tersebut
è Pada tahap kedua ini konselor perlu mengatakan kepada konseli apa yang dapat dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari konseli, dan bagaimana konselor melihat situasi tersebut, kemudian membuat komitmen untuk konseling.


Tahap 3 : Mengeksplorasi Total Behavior Konseli
è Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam Konseling Realita; akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi apa saja yang telah dilakukannya untuk menghadapi ujian.

Tahap 4: Konseli Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi
è Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut. Pada tahap ini, respon-respon konselor diantaranya menanyakan apakah yang dilakukan konseli dapat membantunya keluar dari permasalahan atau sebaliknya. Konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut. Kemudian bertanya kepada konseli apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konseli saat ini, menanyakan apakah konseli akan tetap pada pilihannya, apakah hal tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah realitas, apakah benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan konseli realistis atau dapat terjadi/dicapai, bagaimana konseli memandang pilihan perilakunya, sehuingga konseli dapat menilai apakah hal tersebut cukup membantunya, dan menanyakan komitmen konseli untuk mengikuti proses konseling.
Tahap 5: Merencanakan Tindakan yang Bertanggungjawab
è Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak meyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang lebih bertanggungjawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar dan permasalahan yang sedang dihadapinya.

Tahap 6: Membuat komitmen
è Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.

Tahap 7: Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan Konseli
è Konseli akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah disepakati bersama. Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan perubahan perilaku konseli. Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah direncanaknnya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseli untuk melihat kembali rencana tersebut dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor selanjutnya membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil ia lakukan.
è Pada tahap ini sebaiknya konselor menghindari pertanyaan dengan kata "Mengapa" sebab kecenderungannya konseli akan bersikap defensive dan emncari-cari alasan. Kondisi: Pada waktu yang telah disepakati (dua minggu setelah sesi sebelumnya)  konseli dating menemui konselor. Dalam proses konseling ia bercerita bahwa dalam waktu dua minggu ini ia tetap cemas ketika jam pelajaran matematika karena tidak dapat menjawab soal-soal latihan yang diberikan guru.
Tahap 8: Tindak lanjut
è Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai.



























KEPUSTAKAAN

Fitra marsela. 2013. Model- Model Konseling. (online). (http://modelkonseling.blogspot.com/2013/09/konseling-behavioral.html, diakses 7 April 2017).

Ifdil. 2010. Konseling Realitas. (online).(http://konselingindonesia.com, diakses 7 April 2017).

Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita. Padang: BK FIP Universitas Negeri Padang.

Stevic RR, Hansem JC and Warmer RW. 1977. Counseling: Theory and Process. Bostom: Allyn&bacon, Inc.

Taufik. 2012. Model-Model Konseling. Padang: BK FIP Universitas Negeri Padang.