Jumat, 20 September 2019

KONSELING GESTALT


KONSELING GESTALT

A.    Makna dan Dasar Filosofis Teori Gestalt
Makna dari teori gestalt adalah teori ini mengajarkan konselor dan klien metode kesadaran fenomenologi, yaitu bagaimana individu memahami, merasakan, dan bertindak serta membedakannya dengan interprestasi terhadap suatu kejadian dan pengalaman masa lalu. Teori ini juga dianggap teori yang hidup dan mempromosikan pengalaman langsung, bukan sekadar membicarakan permasalahan dalam konseling. Oleh karena itu, teori ini disebut juga experiental, dimana klien merasakan apa yang mereka rasakan, pikirkan dan lakukan pada saat klien berinteraksi dengan orang lain (Corey: 1986).
Penemu psikoterapi Gestalt adalah Frederick (Fritz) Perls dan mulai berkembang pada awal tahun 1950 . Pendekatan Gestalt berfokus pada masa kini dan itu di butuhkan kesadaran saat itu juga. Kesadaran ditandai oleh kontak, penginderaan, dan gairah. Kontak dapat terjadi tanpa kesadaran, namun kesadaran tidak dapat dipisahkan dari kontak. Terapi Gestalt adalah bentuk terapi yang mengharuskan individu menemukan jalannya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka berharap mencapai kematangan. (Corey: 1986)
Landasan filosofis dalam Teori Gestalt ada tiga yaitu:
1.     Perspektif Fenomenologi (The Phenomenological Perspective)
Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang bertujuan membantu individu mengambil jarak dari cara berpikir yang biasa dilakukan individu, sehingga mereka dapat mengatakan perbedaan apa yang sebenarnya dirasakan pada situasi sekarang dan apa hanya sebagai residu masa lalu (Idhe, 1997 dalam Yotnef 1993). Pendekatan Gestalt memperlakukan hal-hal yang secara subjektif dirasakan individu pada saat ini, dan apa yang secara objektif terobservasi sebagai data yang nyata dan penting (Yotnef 1993).

2.    Perspektif Teori Medan ( The Field Theory Perspective)
Landasan ilmiah perspektif fenomenologi pendekatan Gestalt adalah teori medan (field theory ). Field theory adalah metode untuk mengeksplorasi apa yang dideskripsikan keseluruhan ( the whole field ) kejadian yang sedang dirasakan, bukan menganalisis kejadian berdasarkan bagian-bagian tertentu (Yotnef 1993). Teori fenomenologi medan dapat didefinisikan sebagai apa yang diobservasi oleh observer dan, yang bermakna adalah ketika individu mengetahui kerangka berpikir (the frame of reference) observer (Yotnet 1993). Pendekatan medan adalah pendekatan yang deskriptif, bukan spekulatif dan interpretatif. Penekanannya pada mengobservasi, mendeskripsikan, dan menjelaskan struktur yang diobservasi (Yotnef 1993).
3.    Perspektif Eksistensial ( The Existential Perspective )
Existentialism adalah dasar dari metode fenomenologi yang berfokus pada eksistensi individu, hubungan dengan orang lain serta kesenangan dan kesakitan yang langsung dirasakan (Yotnef 1993). Sebagian besar manusia berpikir secara konvensional  yaitu, cara berpikir yang ambigu atau menghindari pemahaman dan pengakuan tentang bagaimana dunianya. Membohongi diri sendiri (self-deception) adalah dasar dari ketidakotentikan (inauthenticity), yaitu hidup tidak berdasarkan pada kebenaran diri yang menyeret individu memiliki perasaan takut, bersalah, dan cemas. Terapi Gestalt memberikan strategi untuk menjadi pribadi yang autentik dan bertanggung jawab secara bermakna kepada diri sendiri. Dengan menjadi sabar, individu memiliki kemampuan untuk memilih dan mengorganisasikan eksistensi dirinya secara bermakna (Yotnef 1993).

B.     Teori Kepribadian
Perls merupakan seorang pengikut psikoanalisa dan sebagian dari konseling gestalt dipengaruhi oleh psikoanalisa ini. Gestalt memandang manusia memiliki eksistensi dan posisinya dalam kemanusiaan.
1.    Hakikat Manusia
Passons (dalam Hansen: 1977) menyusun 8 asumsi tentang hakikat manusia yang terdapat dalam jaringan kerja konseling Gestalt:
a.       Manusia adalah gabungan keseluruhan sebagaimana dia diciptakan dan merupakan bagian yang berhubungan.
b.      Manusia juga merupkan bagian dari lingkungannya dan dia tidak bisa mengerti terpisah dari bagian tersebut.
c.       Manusia memilih bagaimana dia merespon kepada stimulus eksternal dan internal; dia merupakan aktor di dunia nya tidak sebagai orang yang bereaksi.
d.      Manusia memiliki potensi untuk menjadi lebih sadar terhadap semua sensasi, pemikirannya, emosi dan persepsinya.
e.       Manusia mampu untuk membuat pilihan karena dia sangat sadar
f.       Manusia memiliki kapasitas untuk mengurus/memerintah kehidupannya secara efektif.
g.      Manusia tidak bisa berpengalaman pada masa lalu dan masa depan, tetapi manusia hanya bisa berpengalaman pada masa sekarang.
h.      Manusia pada dasarnya tidak baik maupun juga buruk

2.    Kekuatan Motivasi
Dengan adanya delapan asumsi diatas jelas hal tersebut menggambarkan Gestalt, motivasi dari perkembangan, berdasarkan kepada Perls (1969), menjelaskan dari fakta bahwa setiap orang hanya memiliki satu tujuan yang tidak bisa dipisahkan, dan hal itu adalah aktualisasi diri.
Hal ini hampir sama dengan Rogerian yaitu teori self, akan tetapi ada perbedaan yaitu Rogers menggambarkan proses aktualisasi sebagai kerja keras bagi individu untuk menjadi lebih mampu. Bisa dikatakan bahwa pandangan ini berorientasi ke masa depan. Sedangkan Gestalt lebih kepada masa sekarang. Kerja keras inilah yang akan menjadi dasar kekuatan motivasi untuk semua perilaku yang dilandaskan pada hakikat manusia.
Perls mengkonsepkan perkembangan kepribadian sebagai hasil dari kerja keras individu untuk mempertahankan keseimbangan antara konflik inner force. Dimana adanya masalah individu antara permintaan dan kebutuhan internal, maka diri individu tersebut akan beraksi agar menyeimbangkan ketimpangan tersebut. Maka kerja keras ini untuk mengurangi tekanan dalam diri individu tersebut dan proses ini dikenal dengan self regulation (Perls, 1969a).
Self regulation ini dikembangkan dalam perkembangan pribadi, para ahli gestalt menjelaskan ada tiga tahap dalam self regulasi yaitu sosial, psikofisikal dan spiritual (Kempler dalam Hansen: 1977). Kempler menggambarkan tiga tahap ini sebagai urutan dan juga mewakili tingkat potensi kesadaran manusia. Dia menggambarkan tahap sosial sebagai periode karakter menjadi anak yang sadar akan orang lain tanpa memiliki kesadaran terhadap dirinya, tahap ini membutuhkan dominasi interaksi dengan yang lain.
Tahap psikofisikal bahwa anak mengembangkan perasaan akan diriya atau self image. Pada tahap ini karakter oleh kesadaran akan diri orang sendiri. Yang menggambarkan istilah kepribadian dan ini dibagi kedalam tiga komponen (Kempler, 1973, p. 262) yaitu
a.       Self
b.      Self image
c.       Being
Berkaitan dengan kepribadian yang telah ada ketika manusia itu lahir dan berkembang hingga manusia itu mulai memasuki usia dewasa muda, maka akan ada sistem kepribadian yang ditampakkan, seperti kata Kempler (1973) yaitu adaptasi, acknowledgement, dan approbation.
a.       Adaptasi, proses dimana individu tersbut menemukan ikatan dalam lingkungan dimana dia itu eksis.
b.      Acnowledgement, proses yang dilalui individu dalam menemukan pengakuan akan lingkungan terhadap dirinya “watch me”.
c.       Approbation, proses yang dilalui individu dalam perkembangannya yang membuat self image.

3.    Perilaku Menyimpang
Passon (dalam Hansen: 1977) membagi jenis pengalaman masalah individu kedalam 6 tipe yaitu:
1.      Lack of Awareness, behubungan tentang individu dengan kepribadian yang kaku, dimana individu tersebut keihilangan akan kreatifitasnya menghadapai dirinya dalam lingkungan.
2.      Lack of self-responsibility, berhubungan juga dengan lack of awareness, tetapi mengambil bentuk mencoba untuk memanipulasi lingkungan sebagai ganti dirinya. Individu bekerja keras untuk tetap dalam situasi ketergantungan.
3.      Loss of contact with the environment, juga berkaitan dengan area yang pertama, masalah ini bisa menjadi dua bentuk yaitu, ketika individu menjadi begitu kaku dalam perilakunya maka tidak ada lingkungan menerimanya, efeknya dia akan menarik dirinya dari lingkungan. Yang kedua begitu juga dengan individu yang ingin pujian (approbation) dimana dia telah tidak memiliki self believe.
4.      Inability to complete Gestalt, yang berkaitan dengan urusan yang belum selesai dalam kehidupan dengan kata lain yang bersifat menyeluruh. Sehingga apabila urusan yang belum selesai tersebut semakin besar maka individu akan mengalami kesulitan untuk mencari pemecahanya.
5.      Disowning of needs, berkaitan dengan seseorang bertindak untuk menolak satu dari kebutuhannya. Seperti contohnya ketika lingkungan membenci perilaku agresif maka individu akan menghilangkan kebutuhan tersebut, akan tetapi individu yang telah menghilangka rasa agresif tersbut berada dalam lingkungan yang harus agresif maka individu tersebut akan mengalami ksulitan dalam membentuknya lagi.
6.      Dichotomizing dimensions of the self, mengambil bentuk orang merasa diri mereka berada pada satu kemungkinan yag berkelanjutan seperti kuat atau lemah, maskulin atau feminim. Maka menurut Perls adanya individu yang merasa berada pada top dog (controller) dan underdog (controlled).

C.    Tujuan Konseling
Objektif dari konseling adalah untuk memindahkan individu dari keadaan terikat kepada keputusan yang bergantung kepada regulasi diri. Proses ini berujung kepada integrasi self sebagai kebutuhan untuk memainkan peran yang diinginkan.
Dengan kata lain tujuan dari konseling untuk individu adalah to be true to himself (untuk menjadi yang sebenarnya bagi dirinya sendiri). Seperti kata Perls (1969), tujuan ini tidak pernah secara total tercapai. Integrasi tidak pernah selesai; kedewasaan tidak juga selesai. Hal itu adalah proses yang berkelanjutan selamanya (Perls, 1969).
Tujuan dari konseling gestalt adalah secara global. Ketika individu bisa menghadirkan masalah yang spesific pada konselor, konselor gestalt memegang masalah yang spesific tersebut sebagai satu-satunya perwakilan dari semua masalah yang umum, yang mana berkaitan dengan ketidak mampuan indidivu dalam regulasi diri.

D.    Peran Konselor dan  Proses Konseling
Perls (1969) menyarankan, bahwa peran konselor adalah untuk menyediakan suatu atmosfer yang mana klien memiliki kesempatan untuk menemukan kebutuhannya; untuk menemukan bagian dalam dirinya yang mana telah menyerah karena permintaan lingkungannya, dan juga untuk menyediakan tempat dimana klien menumbuhkan pengalamannya.
1.    Membangun suasana yang kondusif
2.    Membangun komunikasi yang baik sehingga mengungkapkan bagian self yang hilang.
3.    Konselor gestalt harus menjadi katalisator bagi klien agar klien mampu meningkatkan kesadaran dirinya sendiri.

E.     Teknik Konseling
Teknik dalam konseling memiliki beberapa teknik diantaranya adalah :
1.      Teknik Umum
a.       Initating the procsess. Konselor haruslah memulai konseling dengan memberikan layanan yang memuaskan dikarenakan klien yang datang kepada koselor adalah membutuhkan layanan yang kualitasnya bagus, oleh karena itu konselor harus melakukan pengawalan dlam layanan konseling.
b.      Fostering here and now orientation, tujuan dari konseling gestalt bukan untuk merekonstruksi masa lalu atau memotivasi ketidak sadaran klien; masa kini lah yang menjadi fokus dari gestalt conseling atau menyandang azas kekinian.
2.      Bisa juga melalui memfrustrasikan klien
menurut Perls mengatakan inilah yang selalu kita lakukan berkali-kali, untuk memfrustrasikan orang sampai kepada individu tadi face to face dengan hambatan, seperti larangan dalam dirinya, dengan cara mereka menghindari memiliki mata, memiliki telinga, memiliki otot, memiliki otoritas, dan memiliki keamanan dalam dirinya (Perls: 1969).
Oleh karena itu konselor bertujuan dan berperan untuk membantu klien untuk mengenal akan jalan buntu yang masih ada dalam pikirannya dan juga mengajarkan kemampuan memecahkan jalan buntu tersebut. Maka efeknya untuk klien, konselor harus mengutamakan pada klien dengan mengatakan kamu bisa dan bertanggung jawablah akan dirimu sendiri.
3.      Teknik eksperiensial :
a.       Use of personal pronouns, yang berarti dalam menerima klien konselor harus menggunaka kata-kata untuk membuat pembicaraan lebih personal, seperti ketika klien datang konselor memulai dengan bagaimana kabarmu?, klien menjawab saya baik-baik saja. Konselor harus membuat arah pembicaraan lebih sedikit pribadi maka, baik-baik saja bagaimana?
b.      Converting question to statements, mengubah pertanyaan menjadi kalimat untuk mempertanyakan dengan cara lain.
c.       Assuming reponsibility, klien akan ditanyakan dan diinginkan untuk menghilangkan perasaan dan kepercayaan bahwa dia itu tidak mampu, dan mengambil tanggung jawab atas hal itu. Maka konselor harus mengubah persepsi klien dari tidak bisa menjadi tidak mau/akan. Maka asumsi pada kalimat i won’t (tidak mau/akan) membuat klien sadar bahwa masih ada kekuatan dalam dirinya tinggal menggunakannya dengan kemauan.
d.      Sharing hunches, berkaitan dengan menggunakan firasat untuk mengungkapkan bagaimana klien memproyeksikan dirinya dalam perilaku. Misalnya: ketika klien datang dan duduk, dia menggoyang-goyangkan kakinya, maka konselor menggunakan firasatnya untuk memancaing klien agar mampu mengakui bahwa apa yang terbayangkan lebih dari pada yang kita tahu, maka klien akan mampu untuk memproyeksikan dirinya.
e.       Playing the projection, maka ini lanjutan dari membagi firasat diatas, maka ketika klien memberikan penjelsan dengan mengibaratkan individu lain maka klien disuruh untuk memainkan peran dari individu yang digambarkanya.
f.       Memberikan petunjuk agar klien melalui pengalamanya menyadari bahwa ada hal positif dan negatif pada dri dan perilaku klien.
g.      Latihan bertingkah laku khususnya untuk hal-hal yang perlu dilakukan
h.      Permainan dialog, yaitu meainkan dialog antara posisi top dog maupu yang under dog. Agar bisa di analisa dan dipecahkan masalahnya.


F.     Komentar
Para psikolog mengusulkan agar restrukturisasi merupakan proses penting dalam berpikir. Konsep ini belum diintegrasikan ke dalam teori pengolahan informasi problem solving. Sebagai persiapan untuk integrasi semacam itu. Tulisan Gestalt tentang restrukturisasi dalam pemecahan masalah diringkas dalam serangkaian prinsip. Pemeriksaan kritis menunjukkan bahwa beberapa prinsip Gestalt dilebih-lebihkan; Yang lain memiliki dukungan empiris yang sangat lemah. Namun realitas psikologis restrukturisasi tidak diragukan lagi. Teori berpikir harus menafsirkan restrukturisasi (Ohlsson, S :1984).
Dalam penelitian lain Epstein, W. (1988) juga mengkritisi teori Gestalt dalam hal pengolahan informasi, dan menjelaskan hubungan antara restrukturisasi dan search. Perbedaannya ditarik antara komitmen metatheoretikal teori Gestalt dan instantiasi mereka dalam teori eksplisit. Dikatakan bahwa komitmen metatheoretikal teori Gestalt mencerminkan wawasan penting yang mungkin berperan sebagai dasar teori persepsi yang menghindari sejumlah kesulitan utama yang terkait dengan konstruktivisme dan teori persepsi langsung. Untuk alasan ini teori Gestalt perlu untuk direhabilitasi segera. Beberapa kesamaan antara landasan dasar teori Gestalt dan pendekatan pemrosesan terdistribusi paralel dicatat.







KEPUSTAKAAN

Gerald Corey. 2013. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi (cet. Ke-7). Bandung: Refika Aditama.
James C. Hansen dkk. 1977. Counseling: Theory And Process. Edisi ke 2. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Perls, F. S. 1969. Gestalt therapy verbatim.
Yontef, G. M. 1993. Awareness, dialogue & process: essays on Gestalt therapy. The Gestalt Journal Press.
Ohlsson, S. 1984. Restructuring revisited: I. Summary and critique of the Gestalt theory of problem solving. Scandinavian Journal of Psychology.
Epstein, W. 1988. Has the time come to rehabilitate Gestalt theory?. Psychological Research, 50(1), 2-6.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar