KONSELING GESTALT
A.
Makna dan
Dasar Filosofis Teori Gestalt
Makna dari teori gestalt adalah teori ini mengajarkan konselor dan klien
metode kesadaran fenomenologi, yaitu bagaimana individu memahami, merasakan,
dan bertindak serta membedakannya dengan interprestasi terhadap suatu kejadian
dan pengalaman masa lalu. Teori ini juga dianggap teori yang hidup dan
mempromosikan pengalaman langsung, bukan sekadar membicarakan permasalahan
dalam konseling. Oleh karena itu, teori ini disebut juga experiental, dimana
klien merasakan apa yang mereka rasakan, pikirkan dan lakukan pada saat klien
berinteraksi dengan orang lain (Corey: 1986).
Penemu psikoterapi Gestalt adalah Frederick (Fritz)
Perls dan mulai berkembang pada awal tahun 1950 . Pendekatan Gestalt berfokus
pada masa kini dan itu di butuhkan kesadaran saat itu juga. Kesadaran ditandai
oleh kontak, penginderaan, dan gairah. Kontak dapat terjadi tanpa kesadaran,
namun kesadaran tidak dapat dipisahkan dari kontak. Terapi Gestalt adalah
bentuk terapi yang mengharuskan individu menemukan jalannya sendiri dan
menerima tanggung jawab pribadi jika mereka berharap mencapai kematangan. (Corey: 1986)
Landasan filosofis dalam Teori Gestalt ada tiga yaitu:
1. Perspektif
Fenomenologi (The Phenomenological Perspective)
Fenomenologi
adalah disiplin ilmu yang bertujuan membantu individu mengambil jarak dari cara
berpikir yang biasa dilakukan individu, sehingga mereka dapat mengatakan
perbedaan apa yang sebenarnya dirasakan pada situasi sekarang dan apa hanya
sebagai residu masa lalu (Idhe, 1997 dalam Yotnef 1993). Pendekatan Gestalt
memperlakukan hal-hal yang secara subjektif dirasakan individu pada saat ini,
dan apa yang secara objektif terobservasi sebagai data yang nyata dan penting
(Yotnef 1993).
2. Perspektif Teori Medan ( The Field Theory Perspective)
Landasan
ilmiah perspektif fenomenologi pendekatan Gestalt adalah teori medan (field
theory ). Field theory adalah metode untuk mengeksplorasi apa yang
dideskripsikan keseluruhan ( the whole field ) kejadian yang sedang dirasakan,
bukan menganalisis kejadian berdasarkan bagian-bagian tertentu (Yotnef 1993).
Teori fenomenologi medan dapat didefinisikan sebagai apa yang diobservasi oleh
observer dan, yang bermakna adalah ketika individu mengetahui kerangka berpikir
(the frame of reference) observer (Yotnet 1993). Pendekatan medan adalah
pendekatan yang deskriptif, bukan spekulatif dan interpretatif. Penekanannya
pada mengobservasi, mendeskripsikan, dan menjelaskan struktur yang diobservasi
(Yotnef 1993).
3. Perspektif Eksistensial ( The Existential Perspective
)
Existentialism
adalah dasar dari metode fenomenologi yang berfokus pada eksistensi individu,
hubungan dengan orang lain serta kesenangan dan kesakitan yang langsung
dirasakan (Yotnef 1993). Sebagian besar manusia berpikir secara
konvensional yaitu, cara berpikir yang
ambigu atau menghindari pemahaman dan pengakuan tentang bagaimana dunianya.
Membohongi diri sendiri (self-deception) adalah dasar dari ketidakotentikan
(inauthenticity), yaitu hidup tidak berdasarkan pada kebenaran diri yang
menyeret individu memiliki perasaan takut, bersalah, dan cemas. Terapi Gestalt
memberikan strategi untuk menjadi pribadi yang autentik dan bertanggung jawab
secara bermakna kepada diri sendiri. Dengan menjadi sabar, individu memiliki
kemampuan untuk memilih dan mengorganisasikan eksistensi dirinya secara
bermakna (Yotnef 1993).
B.
Teori
Kepribadian
Perls merupakan seorang pengikut psikoanalisa dan
sebagian dari konseling gestalt dipengaruhi oleh psikoanalisa ini. Gestalt
memandang manusia memiliki eksistensi dan posisinya dalam kemanusiaan.
1. Hakikat Manusia
Passons (dalam Hansen: 1977) menyusun 8 asumsi
tentang hakikat manusia yang terdapat dalam jaringan kerja konseling Gestalt:
a. Manusia
adalah gabungan keseluruhan sebagaimana dia diciptakan dan merupakan bagian
yang berhubungan.
b. Manusia
juga merupkan bagian dari lingkungannya dan dia tidak bisa mengerti terpisah
dari bagian tersebut.
c. Manusia
memilih bagaimana dia merespon kepada stimulus eksternal dan internal; dia
merupakan aktor di dunia nya tidak sebagai orang yang bereaksi.
d. Manusia
memiliki potensi untuk menjadi lebih sadar terhadap semua sensasi,
pemikirannya, emosi dan persepsinya.
e. Manusia
mampu untuk membuat pilihan karena dia sangat sadar
f. Manusia
memiliki kapasitas untuk mengurus/memerintah kehidupannya secara efektif.
g. Manusia
tidak bisa berpengalaman pada masa lalu dan masa depan, tetapi manusia hanya
bisa berpengalaman pada masa sekarang.
h. Manusia
pada dasarnya tidak baik maupun juga buruk
2. Kekuatan Motivasi
Dengan adanya delapan asumsi diatas jelas hal
tersebut menggambarkan Gestalt, motivasi dari perkembangan, berdasarkan kepada
Perls (1969), menjelaskan dari fakta bahwa setiap orang hanya memiliki satu
tujuan yang tidak bisa dipisahkan, dan hal itu adalah aktualisasi diri.
Hal ini hampir sama dengan Rogerian yaitu teori
self, akan tetapi ada perbedaan yaitu Rogers menggambarkan proses aktualisasi
sebagai kerja keras bagi individu untuk menjadi lebih mampu. Bisa dikatakan
bahwa pandangan ini berorientasi ke masa depan. Sedangkan Gestalt lebih kepada
masa sekarang. Kerja keras inilah yang akan menjadi dasar kekuatan motivasi
untuk semua perilaku yang dilandaskan pada hakikat manusia.
Perls mengkonsepkan perkembangan kepribadian sebagai
hasil dari kerja keras individu untuk mempertahankan keseimbangan antara
konflik inner force. Dimana adanya masalah individu antara permintaan dan
kebutuhan internal, maka diri individu tersebut akan beraksi agar
menyeimbangkan ketimpangan tersebut. Maka kerja keras ini untuk mengurangi
tekanan dalam diri individu tersebut dan proses ini dikenal dengan self
regulation (Perls, 1969a).
Self regulation ini dikembangkan dalam perkembangan
pribadi, para ahli gestalt menjelaskan ada tiga tahap dalam self regulasi yaitu
sosial, psikofisikal dan spiritual (Kempler dalam Hansen: 1977). Kempler
menggambarkan tiga tahap ini sebagai urutan dan juga mewakili tingkat potensi
kesadaran manusia. Dia menggambarkan tahap sosial sebagai periode karakter
menjadi anak yang sadar akan orang lain tanpa memiliki kesadaran terhadap
dirinya, tahap ini membutuhkan dominasi interaksi dengan yang lain.
Tahap psikofisikal bahwa anak mengembangkan perasaan
akan diriya atau self image. Pada tahap ini karakter oleh kesadaran akan diri
orang sendiri. Yang menggambarkan istilah kepribadian dan ini dibagi kedalam
tiga komponen (Kempler, 1973, p. 262) yaitu
a. Self
b. Self
image
c. Being
Berkaitan dengan kepribadian yang telah ada ketika
manusia itu lahir dan berkembang hingga manusia itu mulai memasuki usia dewasa
muda, maka akan ada sistem kepribadian yang ditampakkan, seperti kata Kempler
(1973) yaitu adaptasi, acknowledgement, dan approbation.
a. Adaptasi,
proses dimana individu tersbut menemukan ikatan dalam lingkungan dimana dia itu
eksis.
b. Acnowledgement,
proses yang dilalui individu dalam menemukan pengakuan akan lingkungan terhadap
dirinya “watch me”.
c. Approbation,
proses yang dilalui individu dalam perkembangannya yang membuat self image.
3. Perilaku Menyimpang
Passon
(dalam Hansen: 1977) membagi jenis pengalaman masalah individu kedalam 6 tipe
yaitu:
1. Lack
of Awareness, behubungan tentang individu dengan kepribadian yang kaku, dimana
individu tersebut keihilangan akan kreatifitasnya menghadapai dirinya dalam
lingkungan.
2. Lack
of self-responsibility, berhubungan juga dengan lack of awareness, tetapi mengambil
bentuk mencoba untuk memanipulasi lingkungan sebagai ganti dirinya. Individu
bekerja keras untuk tetap dalam situasi ketergantungan.
3. Loss
of contact with the environment, juga berkaitan dengan area yang pertama,
masalah ini bisa menjadi dua bentuk yaitu, ketika individu menjadi begitu kaku
dalam perilakunya maka tidak ada lingkungan menerimanya, efeknya dia akan
menarik dirinya dari lingkungan. Yang kedua begitu juga dengan individu yang
ingin pujian (approbation) dimana dia telah tidak memiliki self believe.
4. Inability
to complete Gestalt, yang berkaitan dengan urusan yang belum selesai dalam
kehidupan dengan kata lain yang bersifat menyeluruh. Sehingga apabila urusan
yang belum selesai tersebut semakin besar maka individu akan mengalami
kesulitan untuk mencari pemecahanya.
5. Disowning
of needs, berkaitan dengan seseorang bertindak untuk menolak satu dari
kebutuhannya. Seperti contohnya ketika lingkungan membenci perilaku agresif
maka individu akan menghilangkan kebutuhan tersebut, akan tetapi individu yang
telah menghilangka rasa agresif tersbut berada dalam lingkungan yang harus
agresif maka individu tersebut akan mengalami ksulitan dalam membentuknya lagi.
6. Dichotomizing
dimensions of the self, mengambil bentuk orang merasa diri mereka berada pada
satu kemungkinan yag berkelanjutan seperti kuat atau lemah, maskulin atau
feminim. Maka menurut Perls adanya individu yang merasa berada pada top dog
(controller) dan underdog (controlled).
C.
Tujuan
Konseling
Objektif dari konseling adalah untuk memindahkan
individu dari keadaan terikat kepada keputusan yang bergantung kepada regulasi
diri. Proses ini berujung kepada integrasi self sebagai kebutuhan untuk
memainkan peran yang diinginkan.
Dengan kata lain tujuan dari konseling untuk
individu adalah to be true to himself (untuk menjadi yang sebenarnya bagi
dirinya sendiri). Seperti kata Perls (1969), tujuan ini tidak pernah secara
total tercapai. Integrasi tidak pernah selesai; kedewasaan tidak juga selesai.
Hal itu adalah proses yang berkelanjutan selamanya (Perls, 1969).
Tujuan dari konseling gestalt adalah secara global.
Ketika individu bisa menghadirkan masalah yang spesific pada konselor, konselor
gestalt memegang masalah yang spesific tersebut sebagai satu-satunya perwakilan
dari semua masalah yang umum, yang mana berkaitan dengan ketidak mampuan
indidivu dalam regulasi diri.
D.
Peran
Konselor dan Proses Konseling
Perls (1969) menyarankan, bahwa peran konselor
adalah untuk menyediakan suatu atmosfer yang mana klien memiliki kesempatan
untuk menemukan kebutuhannya; untuk menemukan bagian dalam dirinya yang mana
telah menyerah karena permintaan lingkungannya, dan juga untuk menyediakan
tempat dimana klien menumbuhkan pengalamannya.
1. Membangun
suasana yang kondusif
2. Membangun
komunikasi yang baik sehingga mengungkapkan bagian self yang hilang.
3. Konselor
gestalt harus menjadi katalisator bagi klien agar klien mampu meningkatkan
kesadaran dirinya sendiri.
E.
Teknik
Konseling
Teknik dalam konseling memiliki beberapa teknik
diantaranya adalah :
1.
Teknik Umum
a. Initating
the procsess. Konselor haruslah memulai konseling dengan memberikan layanan
yang memuaskan dikarenakan klien yang datang kepada koselor adalah membutuhkan
layanan yang kualitasnya bagus, oleh karena itu konselor harus melakukan
pengawalan dlam layanan konseling.
b. Fostering
here and now orientation, tujuan dari konseling gestalt bukan untuk
merekonstruksi masa lalu atau memotivasi ketidak sadaran klien; masa kini lah
yang menjadi fokus dari gestalt conseling atau menyandang azas kekinian.
2.
Bisa juga melalui memfrustrasikan klien
menurut
Perls mengatakan inilah yang selalu kita lakukan berkali-kali, untuk
memfrustrasikan orang sampai kepada individu tadi face to face dengan hambatan,
seperti larangan dalam dirinya, dengan cara mereka menghindari memiliki mata,
memiliki telinga, memiliki otot, memiliki otoritas, dan memiliki keamanan dalam
dirinya (Perls: 1969).
Oleh
karena itu konselor bertujuan dan berperan untuk membantu klien untuk mengenal
akan jalan buntu yang masih ada dalam pikirannya dan juga mengajarkan kemampuan
memecahkan jalan buntu tersebut. Maka efeknya untuk klien, konselor harus
mengutamakan pada klien dengan mengatakan kamu bisa dan bertanggung jawablah
akan dirimu sendiri.
3.
Teknik eksperiensial :
a. Use of personal pronouns,
yang berarti dalam menerima klien konselor harus menggunaka kata-kata untuk
membuat pembicaraan lebih personal, seperti ketika klien datang konselor
memulai dengan bagaimana kabarmu?, klien menjawab saya baik-baik saja. Konselor
harus membuat arah pembicaraan lebih sedikit pribadi maka, baik-baik saja
bagaimana?
b. Converting question to statements,
mengubah pertanyaan menjadi kalimat untuk mempertanyakan dengan cara lain.
c. Assuming reponsibility,
klien akan ditanyakan dan diinginkan untuk menghilangkan perasaan dan
kepercayaan bahwa dia itu tidak mampu, dan mengambil tanggung jawab atas hal
itu. Maka konselor harus mengubah persepsi klien dari tidak bisa menjadi tidak
mau/akan. Maka asumsi pada kalimat i won’t (tidak mau/akan) membuat klien sadar
bahwa masih ada kekuatan dalam dirinya tinggal menggunakannya dengan kemauan.
d. Sharing hunches,
berkaitan dengan menggunakan firasat untuk mengungkapkan bagaimana klien
memproyeksikan dirinya dalam perilaku. Misalnya: ketika klien datang dan duduk,
dia menggoyang-goyangkan kakinya, maka konselor menggunakan firasatnya untuk
memancaing klien agar mampu mengakui bahwa apa yang terbayangkan lebih dari
pada yang kita tahu, maka klien akan mampu untuk memproyeksikan dirinya.
e. Playing the projection,
maka ini lanjutan dari membagi firasat diatas, maka ketika klien memberikan
penjelsan dengan mengibaratkan individu lain maka klien disuruh untuk memainkan
peran dari individu yang digambarkanya.
f. Memberikan
petunjuk agar klien melalui pengalamanya menyadari bahwa ada hal positif dan
negatif pada dri dan perilaku klien.
g. Latihan
bertingkah laku khususnya untuk hal-hal yang perlu dilakukan
h. Permainan
dialog, yaitu meainkan dialog antara posisi top dog maupu yang under dog. Agar
bisa di analisa dan dipecahkan masalahnya.
F.
Komentar
Para psikolog mengusulkan agar restrukturisasi
merupakan proses penting dalam berpikir. Konsep ini belum diintegrasikan ke
dalam teori pengolahan informasi problem
solving. Sebagai persiapan untuk integrasi semacam itu. Tulisan Gestalt
tentang restrukturisasi dalam pemecahan masalah diringkas dalam serangkaian
prinsip. Pemeriksaan kritis menunjukkan bahwa beberapa prinsip Gestalt
dilebih-lebihkan; Yang lain memiliki dukungan empiris yang sangat lemah. Namun
realitas psikologis restrukturisasi tidak diragukan lagi. Teori berpikir harus
menafsirkan restrukturisasi (Ohlsson, S :1984).
Dalam penelitian lain Epstein, W. (1988) juga mengkritisi
teori Gestalt dalam hal pengolahan informasi, dan
menjelaskan hubungan antara restrukturisasi dan search. Perbedaannya ditarik
antara komitmen metatheoretikal teori Gestalt dan instantiasi mereka dalam
teori eksplisit. Dikatakan bahwa komitmen metatheoretikal teori Gestalt
mencerminkan wawasan penting yang mungkin berperan sebagai dasar teori persepsi
yang menghindari sejumlah kesulitan utama yang terkait dengan konstruktivisme
dan teori persepsi langsung. Untuk alasan ini teori Gestalt perlu untuk
direhabilitasi segera. Beberapa kesamaan antara landasan dasar teori Gestalt
dan pendekatan pemrosesan terdistribusi paralel dicatat.
KEPUSTAKAAN
Gerald Corey. 2013. Teori dan Praktek Konseling &
Psikoterapi (cet. Ke-7). Bandung: Refika Aditama.
James C. Hansen
dkk. 1977. Counseling: Theory And Process.
Edisi ke 2. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Perls, F. S. 1969. Gestalt therapy
verbatim.
Yontef, G. M. 1993. Awareness,
dialogue & process: essays on Gestalt therapy. The Gestalt Journal
Press.
Ohlsson, S. 1984. Restructuring revisited: I. Summary and
critique of the Gestalt theory of problem solving. Scandinavian Journal of Psychology.
Epstein, W. 1988. Has the time come to rehabilitate Gestalt
theory?. Psychological Research,
50(1), 2-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar