AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN BK
A. Konsep Akuntabilitas
dan Pengawasan
1. Akuntabilitas
Konsep akuntabilitas atau “accountability” berasal dari dua kata, yaitu “account” (rekening, laporan atau catatan) dan “ability” (kemampuan). Akuntabilitas bisa diartikan sebagai
kemampuan menunjukkan laporan atau catatan yang dapat dipertanggungjawabkan
(Suharto: 2006). A. Muri Yusuf (dalam
Amirah Diniaty, 2012:89), menjelaskan akuntabilitas tidak sama dengan
responsibilitas. Akuntabilitas lebih mengacu pada pertanggung jawaban
keberhasilan atau kegagagalan pencapaian misi organisasi, sedangkan
responsibilitas berhubungan dengan kewajiban melaksanakan wewenang atau amanah
yang akan diterima. Akuntabilitas mempertanggung jawabkan pelaksanaan wewenang
atau amanah tersebut.
Berdarkan pengertian di atas maka dapat
dipahami bahwa akuntabilitas yakni memberikan pernyataan penjelasan perilaku
seseorang, menawarkan pernyataan atau penjelasan alasan, penyebab, alasan, atau
motif, atau hanya memberikan pernyataan fakta atau acara. Akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan
evaluasi (penilaian) mengenai standar pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang
dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa
sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan
standar-standar tersebut. Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan
kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan.
Dari beberapa pengertian di atas, maka yang
di maksud dengan akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling adalah perwujudan
kewajiban konselor/guru BK atau unit organisasi (bimbingan dan konseling) untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui
media pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.
Dalam hal ini konselor/guru BK berkewajiban untuk menjawab dan menjelaskan
kinerja dari tindakannya atau badan yang membawahinya kepada pihak-pihak yang
memiliki hak untuk meminta jawaban atas kewenangan yang telah diberikan untuk
mengelola sumber daya tertentu.
2. Pengawasan
Menurut Winardi dalam Yosa (2010) “Pengawasan adalah semua aktivitas yang
dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai
dengan hasil yang direncanakan”. Sedangkan menurut Basu Swasta dalam Yosa (2010); “Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat
memberikan hasil seperti yang diinginkan”. Kegiatan
pengawasan
adalah kegiatan Pengawas Satuan Pendidikan dalam melaksanakan penyusunan
program pengawasan satuan pendidikan, pelaksanaan pembinaan akademik dan
administrasi, pemantauan delapan standar nasional pendidikan, penilaian
administrasi dan akademik, dan pelaporan pelaksanaan program pengawasan
(Depdiknas, 2009: 70).
Pengawasan adalah semua aktivitas yang
dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual
sesuai dengan hasil yang direncanakan. Pengawasan juga merupakan
fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti
yang diinginkan”.
Sedangkan Sondang P. Siagian (dalam
Ulbert Silalahi, 2002: 175) mengemukakan pengertian
pengawasan yaitu proses pengamatan dari
pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat
pemakalah simpulkan bahwa pengawasan dalam Bimbingan dan Konseling adalah suatu
upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk
merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual BK dengan
standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu
penyimpangan dalam penyelenggaraan layanan BK, serta untuk mengambil tindakan
perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua tujuan penyelenggaraan
layanan dapat tercapai secara efektif. Melalui pengawasan diharapkan dapat
membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan
yang telah direncanakan secara efektif dan efisien.
B. Stakeholders (Pelanggan) BK
Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh
banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis,
ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain.
Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke
dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana,
stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau
pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu atau suatu rencana (Abdiprojo, 2010).
Dari pengertian tersebut dapatlah
dipahami bahwa dalam konteks dunia pendidikan dan lebih khusus lagi bimbingan
dan konseling stakeholders yang
dimaksud (Dirjen Dikdasmen: 2004) adalah:
1.
Siswa
2.
Orang tua siswa
3.
Personil sekolah
4.
Masyarakat
5.
Organisasi profesi
6.
Pemerintah
Keseluruhan
komponen stakeholders di ataslah yang
secara langsung terlibat dan terkait dalam rangka penyelenggaraan program
bimbingan dan konseling. Masing-masing komponen tersebut memiliki tugas pokok
dan fungsi yang berbeda-beda yang kesemuannya menjadi satu kesatuan yang utuh. Stakeholder akan berkolaborasi untuk
membuat perencanaan, dan semua anggota yang bersangkutan dari sekolah internal
dan eksternal masyarakat harus dimasukkan.
Konselor
yang berkomitmen dan berdedikasi melaksanakan fungsi dan tugas profesionalnya
dengan bertanggung jawab kepada lima pihak, yaitu kepada:
1.
Diri
sendiri : bahwa ia
telah melaksanakan apa yang perlu/harus dilaksanakannya;
2.
Ilmu
dan profesi:
bahwa ia telah menunaikan kaidah-kaidah keilmuan dalam profesinya sesuai dengan
tuntutan keilmuan dan keprofesionalannya itu;
3.
Peserta
didik/sasaran layanan:
bahwa ia telah berbuat sesuatu yang menguntungkan peserta didik dalam
pengembangan potensi dirinya, pengembangan KES dan penanganan KES-T-nya;
4.
Pemangku
kepentingan (stakeholder) lainya: bahwa ia telah memenuhi kewajiban sebagaimana diletakkan ke
pundaknya, oleh orang tua peserta didik, pimpinan satuan pendidikan
(sekolah/madrasah, dan lain-lain), pemerintah atau yayasan, dan masyarakat pada
umumnya.
5.
Tuhan
Yang Maha Esa:
bahwa ia telah berbuat sesuatu sesuai dengan keimanan dan ketakwaan kepada-Nya
(Prayitno: 2009).
C. Syarat
Akuntabilitas dan Pengawasan
Untuk menjamin terciptanya
akuntabilitas dan pengawasan yang baik, maka dalam akuntabilitas itu sendiri
wajib memiliki:
1.
Keterbukaan atau
transparansi akuntabilitas pengawasan pendidikan.
Keterbukaan diperlukan dalam rangka menciptakan kepercayaan timbal balik antar pemangku
kepentingan melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Ini berhubungan dengan
pertanggungjawaban untuk melaporkan, menjelaskan, dan membuktikan kebenaran dan
kebermanfaatan sebuah kegiatan atau keputusan kepada pemangku kepentingan.
2.
Responsibilitas berhubungan dengan tuntutan bagi para konselor/guru BK/guru
pembimbing untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan kewenangan mereka dalam
melakukan praktik layanan Bimbingan dan Konseling secara komprehensif.
3.
Konsekuensi yaitu
public/klien mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil
oleh pihak yang mereka (klien) beri kepercayaan (konselor) tentang program
pelayanan, metode assessment, penilaian, penggunaan data (using data) dan
tindak lanjut layanan yang telah diberikan kepadanya. Kedua hal tersebut di
atas adalah ide pokok dalam membangun public
trust.
Ada beberapa
persyaratan sebelum melaksanakan pengawasan.
1.
Pengawasan membutuhkan rencana-rencana
2.
Pengawasan membutuhkan struktur organisasi yang jelas
3.
Pengawasan dilakukan secara objektif
4.
Pengawasan
dilakukan oleh tenaga yang memiliki kompetensi pada bidangnya
D. Bentuk-Bentuk
Akuntabilitas
Yusuf (dalam Amirah Diniaty, 2012:92)
mengemukakan ada beberapa bentuk akuntabilitas dalam BK antara lain adalah
akuntabilitas program dan akuntabilitas manajemen.
1.
Akuntabilitas
Program
Mengacu pada pertanggungjawaban hasil dari kegiatan-kegiatan BK
yang telah dilaksanakan. Hal ini akan bersinggungan kuat dengan rencana program
yang disusun sebelumnya dan juga akan menampilkan akuntabilitas proses yang
berhubungan dengan proses pelaksanaan kegiatan.
2.
Akuntabilitas
manajemen (yang dirinci menjadi akuntabilitas keuangan, akuntabilitas
fasilitas, akuntabilitas administratif, dan akuntabilitas Sumber Daya Manusia).
Menitikberatkan pada efesiensi dan efektifitas dalam
penggunaan dana, fasilitas, sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.
Akuntabilitas ini menampilkan peranan manajer bukan hanya dalam menerapkan
peraturan yang ada, tetapi juga untuk menerapkan proses berkelanjutan, sehingga
memungkinkan untuk memberikan pelayanan yang terbaik.
Selanjutnya A. Muri
Yusuf (dalam Amirah Diniaty, 2012:93) juga mengungkapkan akuntabilitas dapat
dilihat dari sisi dalam organisasi dan luar organisasi yang dikenal dengan
akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal.
1. Akuntabilitas Internal
Maksudnya pada setiap tingkatan/hirarki, setiap petugas
bertanggungjawab kepada mereka yang mengawasi dan mengendalikan pekerjaanya. Di
sekolah, guru BK/konselor sekolah mempertanggungjawabkan kerjanya kepada kepala
sekolah.
2. Akuntabilitas Eksternal
Pertanggungjawaban disampaikan kepada unit yang relevan
di luar organisasinya. Misalnya pertanggungjawaban kepada masyarakat pemakai
jasa layanan konseling.
E. Kriteria
Akuntabilitas
Kriteria
adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. Krumboltz,
1974 (dalam Gibson & Mitchell, 1981) mengidentifikasi tujuh kriteria yang
harus dipenuhi jika sistem akuntabilitas adalah untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Hal tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Dalam rangka untuk
menentukan domain tanggung jawab konselor, tujuan umum konseling harus
disetujui oleh semua pihak.
2.
Prestasi konselor harus
dinyatakan dalam hal penting yaitu perubahan perilaku yang diamati dan
dirasakan oleh klien.
3.
Kegiatan konselor harus
dinyatakan sebagai biaya, bukan prestasi.
4.
Sistem akuntabilitas
harus dibangun untuk mempromosikan pelayanan yang efektif profesional dan
pengembangan diri, bukan untuk melemparkan dan menyalahkan atau menghukum
kinerja yang buruk.
5.
Dalam rangka
mempromosikan pelaporan yang akurat, laporan kegagalan dan hasil yang tidak
diketahui harus diizinkan dan tidak pernah dihukum.
6.
Semua pengguna dari
sistem akuntabilitas harus terwakili dalam perancangan.
7.
Sistemakuntabilitas itu
sendiri harus dilakukan evaluasi dan modifikasi.
F. Faktor
Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan BK
Dalam melaksanakan akuntabilitas BK,
banyak ditentukan oleh faktor-faktor tertentu. Faktor tersebut tentunya dapat
mendukung keberhasilan pelaksanaan akuntabilitas BK maupun menghambat
pelaksanaan akuntabilitas BK. Menurut A Muri Yusuf (dalam Amirah Diniaty, 2012: 94), faktor tersebut antara lain:
1. Faktor Pendukung
a.
Kepemimpinan
yang memberi teladan.
b.
Mendiskusikan
program-program yang akan dilaksanakan dengan benar dan tuntas, sehingga
dapat ditentukan dengan jelas apa tujuan yang akan dicapai dan apa pula
indikator kinerjanya.
c.
Ciptakan
koordinasi yang baik inter dan antar unit terkait.
d.
Rumuskan
standar kerja yang jelas.
e.
Komunikasikan
pada semua pihak tujuan dan makna akuntabilitas.
2. Faktor Penghambat.
Kegagalan implementasi
akuntabilitas banyak ditentukan oleh :
a.
Rendahnya
kesadaran tentang akuntabilitas.
b.
Kurangnya
kemauan untuk menerapkan akuntabilitas.
c.
Penurunan
nilai-nilai normal.
d.
Faktor
budaya misalnya budaya malas atau tidak disiplin.
e.
Rendahnya
kualitas petugas/pejabat.
f.
Krisis
lingkungan.
g.
Kelemahan
hukum tentang akuntabilitas.
h.
Usangnya
teknologi.
i.
Rendahnya
standar hidup masyarakat
G. Implikasi
Pelaksanaan Akuntabilitas dan Pengawasan BK
Pelaksanaan
akuntabilitas dan pengawasan yang baik akan menciptakan implikasi yang positif
berkenaan dengan konselor (sebagai orang yang menjadi penyelenggara layanan)
dan kelembagaan (tempat konselor bekerja). Hal itu tercermin dalam
penatalaksanaan organisasi dan manajemen yang lebih sehat dan kompetitif.
Akuntabilitas Bimbingan dan Konseling akan dapat diimplementasikan
dengan baik apabila sejak dini kondisi seperti yang telah dikemukakan diatas
(faktor penghambat) dapat diminiminalkan dan beberapa faktor yang mendukung
yang telah dikemukakan diatas (faktor pendukung) terselenggaranya akuntabilitas
dalam BK. Melalui pelayanan hasil layanan dan penilaian proses, serta program
pengawasan keseluruhan kegiatan bimbingan dan konseling dipertanggung jawabkan
kepada stakeholder pelayanan bimbingan dan konseling dan konseling di sekolah
(siswa, orang tua siswa, personil sekolah, masyarakat dan pemerintahan).
Krumboltz (1974) juga mencatat bahwa kemampuan melakukan
akuntabilitas menjamin upaya konselor untuk membangun sistem akuntabilitas yang
memiliki kontribusi untuk diri mereka sendiri. Sebuah sistem akuntabilitas akan
memungkinkan konselor untuk:
1.
Mendapatkan umpan
balik tentang hasil kerja mereka.
2.
Metode konseling
dapat dipilih berdasarkan keberhasilan yang telah ditunjukkan.
3.
Melakukan
identifikasi klien yang selama ini kebutuhannya belum terpenuhi.
4.
Merancang metode
yang singkat untuk operasional kegiatan rutin.
5.
Melakukan tukar
pendapatdengan staf untuk meningkatkan pencapaian tujuandan mencari solusi
terhadap masalah-masalah yang berkembang (Gibson & Mitchell, 1981).
H. Masalah dan Solusi
1. Masalah
Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan Schmidt,
J. J. (2003) yaitu adapun masalah akuntabilitas berawal dari keengganan
beberapa konselor untuk menjelaskan akuntabilitas itu sendiri karena:
a.
Kekurangan perencanaan
waktu untuk melakukan assessment program yang mereka telah programkan;
b.
Adanya pertentangan
antara bagaimana melakukan pengukuran dan apa yang harus dilakukan oleh
konselor;
c.
Keragu-raguan tentang
perbedaan antara research dan
akuntabilitas;
d.
Adanya ketakutan
mengenai hasil assessment (yang buruk) dilakukan oleh konselor.
2.
Solusi
Berhubung masalah terbesar terletak pada sumber daya
manusia (bimbingan dan konseling) itu sendiri, maka solusi yang ditawarkan juga
adalah terfokus kepada peningkatan kualitas kinerja sumber daya manusia
(bimbingan dan konseling) melalui serangkaian pelatihan dan pendidikan lanjutan
yang berbasis profesi. Hal ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Schmidt,
J. J. (2003) yaitu maksud dari tujuan dari pelatihan mengenai evaluasi yang
berkaitan dengan akuntabilitas adalah:
a.
Membantu konselor
mendapatkan data yang dapat bermanfaat dalam perencanaan pengembangan profesi;
b.
Membantu konselor untuk
membuat laporan yang sebenarnya dengan nilai yang seimbang di sekolah;
a.
Mempersilahkan konselor
untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan meminjamkan standar baku
(kredibilitas) dan validitas untuk bekerja di sekolah.
KEPUSTAKAAN
Yusuf,
A. Muri. 2011. Asesmen dan Evaluasi
Pendidikan. Padang: UNP Press.
Amirah Diniaty. 2012. Evaluasi Bimbingan dan Konseling,
Pekanbaru: Zanafa Publihsing.
Depdiknas. 2009.
Bahan Belajar Mandiri Kelompok Kerja
Pengawas Sekolah Dimensi Kompetensi Supervisi Manajerial. Dirjen PMPTK:
Jakarta.
Dirjen Diknas,
Bimbingan dan Konseling 2004: Jakarta
Gibson, Robert L & Mitchell, Marianne H. 1981. Introduction to Counseling and Guidance.
Second Edition. New York: Mc Millan Publishing.
Prayitno. 2009. Arah Kinerja Profesional Konseling Sekolah. Padang: FIP-UNP.
Schmidt, J. J. (2003). Counseling in schools: Essential
services and comprehensive programs, 4thed. Boston, MA. : Allyn & Bacon.
Suharto, Edi. 2006. Akuntabilitas
Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial. Makalah disampaikan dalam Semiloka Eksistensi Diklat Kesejateraan di
Era Globalisasi. Jakarta: TKSM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar