Jumat, 20 September 2019

AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN BK

AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN BK

A.    Konsep Akuntabilitas dan Pengawasan
1.      Akuntabilitas
Konsep akuntabilitas atau “accountability” berasal dari dua kata, yaitu “account” (rekening, laporan atau catatan) dan “ability” (kemampuan). Akuntabilitas bisa diartikan sebagai kemampuan menunjukkan laporan atau catatan yang dapat dipertanggungjawabkan (Suharto: 2006). A. Muri Yusuf  (dalam Amirah Diniaty, 2012:89), menjelaskan akuntabilitas tidak sama dengan responsibilitas. Akuntabilitas lebih mengacu pada pertanggung jawaban keberhasilan atau kegagagalan pencapaian misi organisasi, sedangkan responsibilitas berhubungan dengan kewajiban melaksanakan wewenang atau amanah yang akan diterima. Akuntabilitas mempertanggung jawabkan pelaksanaan wewenang atau amanah tersebut.
Berdarkan pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa akuntabilitas yakni memberikan pernyataan penjelasan perilaku seseorang, menawarkan pernyataan atau penjelasan alasan, penyebab, alasan, atau motif, atau hanya memberikan pernyataan fakta atau acara.  Akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standar pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan standar-standar tersebut. Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan.
Dari beberapa pengertian di atas, maka yang di maksud dengan akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling adalah perwujudan kewajiban konselor/guru BK atau unit organisasi (bimbingan dan konseling) untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik. Dalam hal ini konselor/guru BK berkewajiban untuk menjawab dan menjelaskan kinerja dari tindakannya atau badan yang membawahinya kepada pihak-pihak yang memiliki hak untuk meminta jawaban atas kewenangan yang telah diberikan untuk mengelola sumber daya tertentu.


2.      Pengawasan
Menurut Winardi  dalam Yosa (2010) “Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan”. Sedangkan menurut Basu Swasta  dalam Yosa (2010); “Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan”. Kegiatan pengawasan adalah kegiatan Pengawas Satuan Pendidikan dalam melaksanakan penyusunan program pengawasan satuan pendidikan, pelaksanaan pembinaan akademik dan administrasi, pemantauan delapan standar nasional pendidikan, penilaian administrasi dan akademik, dan pelaporan pelaksanaan program pengawasan (Depdiknas, 2009: 70).
Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan.  Pengawasan juga merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan”. Sedangkan Sondang P.  Siagian  (dalam Ulbert  Silalahi, 2002: 175) mengemukakan  pengertian  pengawasan  yaitu  proses  pengamatan  dari  pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat pemakalah simpulkan bahwa pengawasan dalam Bimbingan dan Konseling adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual BK dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan dalam penyelenggaraan layanan BK, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua tujuan penyelenggaraan layanan dapat tercapai secara efektif. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien.

B.     Stakeholders (Pelanggan) BK
Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu atau suatu rencana   (Abdiprojo, 2010).
Dari pengertian tersebut dapatlah dipahami bahwa dalam konteks dunia pendidikan dan lebih khusus lagi bimbingan dan konseling stakeholders yang dimaksud (Dirjen Dikdasmen: 2004) adalah:
1.      Siswa
2.      Orang tua siswa
3.      Personil sekolah
4.      Masyarakat
5.      Organisasi profesi
6.      Pemerintah
Keseluruhan komponen stakeholders di ataslah yang secara langsung terlibat dan terkait dalam rangka penyelenggaraan program bimbingan dan konseling. Masing-masing komponen tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda-beda yang kesemuannya menjadi satu kesatuan yang utuh. Stakeholder akan berkolaborasi untuk membuat perencanaan, dan semua anggota yang bersangkutan dari sekolah internal dan eksternal masyarakat harus dimasukkan.
Konselor yang berkomitmen dan berdedikasi melaksanakan fungsi dan tugas profesionalnya dengan bertanggung jawab kepada lima pihak, yaitu kepada:
1.    Diri sendiri : bahwa ia telah melaksanakan apa yang perlu/harus dilaksanakannya;
2.    Ilmu dan profesi: bahwa ia telah menunaikan kaidah-kaidah keilmuan dalam profesinya sesuai dengan tuntutan keilmuan dan keprofesionalannya itu;
3.    Peserta didik/sasaran layanan: bahwa ia telah berbuat sesuatu yang menguntungkan peserta didik dalam pengembangan potensi dirinya, pengembangan KES dan penanganan KES-T-nya;
4.    Pemangku kepentingan (stakeholder) lainya: bahwa ia telah memenuhi kewajiban sebagaimana diletakkan ke pundaknya, oleh orang tua peserta didik, pimpinan satuan pendidikan (sekolah/madrasah, dan lain-lain), pemerintah atau yayasan, dan masyarakat pada umumnya.
5.    Tuhan Yang Maha Esa: bahwa ia telah berbuat sesuatu sesuai dengan keimanan dan ketakwaan kepada-Nya (Prayitno: 2009).



C.    Syarat Akuntabilitas dan Pengawasan
Untuk menjamin terciptanya akuntabilitas dan pengawasan yang baik, maka dalam akuntabilitas itu sendiri wajib memiliki:
1.      Keterbukaan atau transparansi akuntabilitas pengawasan pendidikan. Keterbukaan diperlukan dalam rangka menciptakan kepercayaan timbal balik antar pemangku kepentingan melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Ini berhubungan dengan pertanggungjawaban untuk melaporkan, menjelaskan, dan membuktikan kebenaran dan kebermanfaatan sebuah kegiatan atau keputusan kepada pemangku kepentingan.
2.      Responsibilitas berhubungan dengan tuntutan bagi para konselor/guru BK/guru pembimbing untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan kewenangan mereka dalam melakukan praktik layanan Bimbingan dan Konseling secara komprehensif.
3.      Konsekuensi yaitu public/klien mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka (klien) beri kepercayaan (konselor) tentang program pelayanan, metode assessment, penilaian, penggunaan data (using data) dan tindak lanjut layanan yang telah diberikan kepadanya. Kedua hal tersebut di atas adalah ide pokok dalam membangun public trust.
Ada beberapa persyaratan sebelum melaksanakan pengawasan.
1.      Pengawasan membutuhkan rencana-rencana
2.      Pengawasan membutuhkan struktur organisasi yang jelas
3.      Pengawasan dilakukan secara objektif
4.      Pengawasan dilakukan oleh tenaga yang memiliki kompetensi pada bidangnya

D.    Bentuk-Bentuk Akuntabilitas
Yusuf (dalam Amirah Diniaty, 2012:92) mengemukakan ada beberapa bentuk akuntabilitas dalam BK antara lain adalah akuntabilitas program dan akuntabilitas manajemen.
1.      Akuntabilitas Program
Mengacu pada pertanggungjawaban hasil dari kegiatan-kegiatan BK yang telah dilaksanakan. Hal ini akan bersinggungan kuat dengan rencana program yang disusun sebelumnya dan juga akan menampilkan akuntabilitas proses yang berhubungan dengan proses pelaksanaan kegiatan.
2.      Akuntabilitas manajemen (yang dirinci menjadi akuntabilitas keuangan, akuntabilitas fasilitas, akuntabilitas administratif, dan akuntabilitas Sumber Daya Manusia).
Menitikberatkan pada efesiensi dan efektifitas dalam penggunaan dana, fasilitas, sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya. Akuntabilitas ini menampilkan peranan manajer bukan hanya dalam menerapkan peraturan yang ada, tetapi juga untuk menerapkan proses berkelanjutan, sehingga memungkinkan untuk memberikan pelayanan yang terbaik.
Selanjutnya A. Muri Yusuf (dalam Amirah Diniaty, 2012:93) juga mengungkapkan akuntabilitas dapat dilihat dari sisi dalam organisasi dan luar organisasi yang dikenal dengan akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal.
1.      Akuntabilitas Internal
Maksudnya pada setiap tingkatan/hirarki, setiap petugas bertanggungjawab kepada mereka yang mengawasi dan mengendalikan pekerjaanya. Di sekolah, guru BK/konselor sekolah mempertanggungjawabkan kerjanya kepada kepala sekolah.
2.      Akuntabilitas Eksternal
Pertanggungjawaban disampaikan kepada unit yang relevan di luar organisasinya. Misalnya pertanggungjawaban kepada masyarakat pemakai jasa layanan konseling.

E.     Kriteria Akuntabilitas
Kriteria adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. Krumboltz, 1974 (dalam Gibson & Mitchell, 1981) mengidentifikasi tujuh kriteria yang harus dipenuhi jika sistem akuntabilitas adalah untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Dalam rangka untuk menentukan domain tanggung jawab konselor, tujuan umum konseling harus disetujui oleh semua pihak.
2.      Prestasi konselor harus dinyatakan dalam hal penting yaitu perubahan perilaku yang diamati dan dirasakan oleh klien.
3.      Kegiatan konselor harus dinyatakan sebagai biaya, bukan prestasi.
4.      Sistem akuntabilitas harus dibangun untuk mempromosikan pelayanan yang efektif profesional dan pengembangan diri, bukan untuk melemparkan dan menyalahkan atau menghukum kinerja yang buruk.
5.      Dalam rangka mempromosikan pelaporan yang akurat, laporan kegagalan dan hasil yang tidak diketahui harus diizinkan dan tidak pernah dihukum.
6.      Semua pengguna dari sistem akuntabilitas harus terwakili dalam perancangan.
7.      Sistemakuntabilitas itu sendiri harus dilakukan evaluasi dan modifikasi.

F.     Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan BK
Dalam melaksanakan akuntabilitas BK, banyak ditentukan oleh faktor-faktor tertentu. Faktor tersebut tentunya dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan akuntabilitas BK maupun menghambat pelaksanaan akuntabilitas BK. Menurut A Muri Yusuf (dalam Amirah Diniaty, 2012: 94), faktor tersebut antara lain:
1.      Faktor Pendukung
a.         Kepemimpinan yang memberi teladan.
b.        Mendiskusikan program-program yang akan dilaksanakan dengan benar dan tuntas, sehingga dapat ditentukan dengan jelas apa tujuan yang akan dicapai dan apa pula indikator kinerjanya.
c.         Ciptakan koordinasi yang baik inter dan antar unit terkait.
d.        Rumuskan standar kerja yang jelas.
e.         Komunikasikan pada semua pihak tujuan dan makna akuntabilitas.
2.      Faktor Penghambat.
Kegagalan implementasi akuntabilitas banyak ditentukan oleh :
a.         Rendahnya kesadaran tentang akuntabilitas.
b.         Kurangnya kemauan untuk menerapkan akuntabilitas.
c.         Penurunan nilai-nilai normal.
d.        Faktor budaya misalnya budaya malas atau tidak disiplin.
e.         Rendahnya kualitas petugas/pejabat.
f.          Krisis lingkungan.
g.         Kelemahan hukum tentang akuntabilitas.
h.         Usangnya teknologi.
i.           Rendahnya standar hidup masyarakat










G.    Implikasi Pelaksanaan Akuntabilitas dan Pengawasan BK
Pelaksanaan akuntabilitas dan pengawasan yang baik akan menciptakan implikasi yang positif berkenaan dengan konselor (sebagai orang yang menjadi penyelenggara layanan) dan kelembagaan (tempat konselor bekerja). Hal itu tercermin dalam penatalaksanaan organisasi dan manajemen yang lebih sehat dan kompetitif.
Akuntabilitas Bimbingan dan Konseling akan dapat diimplementasikan dengan baik apabila sejak dini kondisi seperti yang telah dikemukakan diatas (faktor penghambat) dapat diminiminalkan dan beberapa faktor yang mendukung yang telah dikemukakan diatas (faktor pendukung) terselenggaranya akuntabilitas dalam BK. Melalui pelayanan hasil layanan dan penilaian proses, serta program pengawasan keseluruhan kegiatan bimbingan dan konseling dipertanggung jawabkan kepada stakeholder pelayanan bimbingan dan konseling dan konseling di sekolah (siswa, orang tua siswa, personil sekolah, masyarakat dan pemerintahan).
Krumboltz (1974) juga mencatat bahwa kemampuan melakukan akuntabilitas menjamin upaya konselor untuk membangun sistem akuntabilitas yang memiliki kontribusi untuk diri mereka sendiri. Sebuah sistem akuntabilitas akan memungkinkan konselor untuk:
1.      Mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka.
2.      Metode konseling dapat dipilih berdasarkan keberhasilan yang telah ditunjukkan.
3.      Melakukan identifikasi klien yang selama ini kebutuhannya belum terpenuhi.
4.      Merancang metode yang singkat untuk operasional kegiatan rutin.
5.      Melakukan tukar pendapatdengan staf untuk meningkatkan pencapaian tujuandan mencari solusi terhadap masalah-masalah yang berkembang (Gibson & Mitchell, 1981).

H.    Masalah dan Solusi
1.      Masalah
Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan Schmidt, J. J. (2003) yaitu adapun masalah akuntabilitas berawal dari keengganan beberapa konselor untuk menjelaskan akuntabilitas itu sendiri karena:
a.       Kekurangan perencanaan waktu untuk melakukan assessment program yang mereka telah programkan;
b.      Adanya pertentangan antara bagaimana melakukan pengukuran dan apa yang harus dilakukan oleh konselor;
c.       Keragu-raguan tentang perbedaan antara research dan akuntabilitas;
d.      Adanya ketakutan mengenai hasil assessment (yang buruk) dilakukan oleh konselor.
2.      Solusi
Berhubung masalah terbesar terletak pada sumber daya manusia (bimbingan dan konseling) itu sendiri, maka solusi yang ditawarkan juga adalah terfokus kepada peningkatan kualitas kinerja sumber daya manusia (bimbingan dan konseling) melalui serangkaian pelatihan dan pendidikan lanjutan yang berbasis profesi. Hal ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Schmidt, J. J. (2003) yaitu maksud dari tujuan dari pelatihan mengenai evaluasi yang berkaitan dengan akuntabilitas adalah:
a.       Membantu konselor mendapatkan data yang dapat bermanfaat dalam perencanaan pengembangan profesi;
b.      Membantu konselor untuk membuat laporan yang sebenarnya dengan nilai yang seimbang di sekolah;
a.       Mempersilahkan konselor untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan meminjamkan standar baku (kredibilitas) dan validitas untuk bekerja di sekolah.


















KEPUSTAKAAN
Yusuf, A. Muri. 2011. Asesmen dan Evaluasi Pendidikan. Padang: UNP Press.

Amirah Diniaty. 2012. Evaluasi Bimbingan dan Konseling, Pekanbaru: Zanafa Publihsing.

Depdiknas. 2009. Bahan Belajar Mandiri Kelompok Kerja Pengawas Sekolah Dimensi Kompetensi Supervisi Manajerial. Dirjen PMPTK: Jakarta.

Dirjen Diknas, Bimbingan dan Konseling 2004: Jakarta

Gibson, Robert L & Mitchell, Marianne H. 1981. Introduction to Counseling and Guidance. Second Edition. New York: Mc Millan Publishing.

Prayitno. 2009. Arah Kinerja Profesional Konseling Sekolah. Padang: FIP-UNP.

Schmidt, J. J. (2003). Counseling in schools:  Essential services and comprehensive programs, 4thed.  Boston, MA. : Allyn & Bacon.

Suharto, Edi. 2006. Akuntabilitas Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial. Makalah disampaikan dalam Semiloka Eksistensi Diklat Kesejateraan di Era Globalisasi. Jakarta: TKSM






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar